Ratu MLM

70 2 0
                                    

Gedung pencakar langit menghiasi keramaian kota. Suara berisik lalu lalang mobil membuat kuping gue kepanasan. Gue berjalan sambil melamun di sepanjang trotoar. Hingar bingar cahaya lampu kota tampak menawan. Datanglah seorang wanita memakai baju kotak – kotak berwarna biru. Dia memakai celana jeans agak ketat. Wajahnya terlihat sangat bersemangat dengan tatanan rambut poni khas korea.

"Mas Tosa, ikutan MLM juga?" tanya Sheila

"Gak." jawab gue singkat

"Kalau mau ikutan bilang sama saya."

"Gue gak minat, Shel."

"Ikutan, ya?. Besar lho bonusnya."

"Gak usah maksa gitu, dong."

"Nih, kartu nama gue."

"Buat apa, Shel?"

"Barang kali lho udah beruba pikiran."

Gue hanya bisa geleng – geleng kepala melihat kelakuan Sheila saat ini. Tiba – tiba dia memaksa gue untuk menjadi anggota MLM. Dulu, teman gue pernah ikut MLM. Di tengah perjalanan dia keluar, karena rugi jutaan rupiah. Semangat Sheila terus mengebu. Sarjana Jurusan Manajemen Bisnis ini, lebih suka kerja di bidang marketing. Terkadang gue kasihan juga melihat Sheila. Setiap hari dia menawarkan jasa MLM kepada semua orang.

"Lho nekat banget, ya?" ungkap gue

"Emang kenapa, Mas Tosa?" Sheila balik bertanya

"Gadis secantik kamu gak pantes bekerja dengan profesi ini. Minimal kamu itu harus jadi pegawai bank. Atau mungkin kerja kantoran."

"Gue udah melamar kerja kemana – mana. Kayaknya sudah gak ada peluang lagi kecuali MLM. Lagian, lho sendiri masih pengangguran, kan?" cecar Sheila

"Gue gak takut jadi pengangguran. Gue tetap enjoy kok menjalani kehidupan ini." ucap gue dengan nada agak songong.

Malam semakin larut. Gue dan Sheila harus berpisah. Gue pulang ke rumah kontrakan dengan perasaan menyesal. Terlihat Cak Kamto masih sibuk dengan botol bekasnya. Sungguh luar biasa. Malam – malam gini Cak Kamto masih bekerja. Dia seperti seekor kuda. Pagi, siang dan malam bekerja tiada henti. Terkadang gue kasihan melihat Cak Kamto. Akhir – akhir ini dia mendapatkan banyak pesanan, sementara itu kedua karyawanya melarikan diri.

"Belum tidur, Cak?" tanya gue sambil membawakan Cak Kamto secangkir kopi panas.

"Tumben buatin paman kopi. Pasti ada apa – apanya, ya?" jawab Cak Kamto

"Gue ikhlas kok, Cak."

"Gimana, ada masalah apa kamu."

"Gue bingung, Cak. Gue udah nglamar kerja kesana kemari tapi belum ada panggilan."

"Oiya, Cak Kamto baru inget. Tadi pagi aku ketemu sama mbak – mbak cantik. Dia ngasihkan surat ini. Kayaknya itu panggilan pekerjaan buat kamu."

"Sebentar, Cak. Gue baca dulu."

"Isinya apa itu, Tos."

"Alhamdulillah, besok gue langsung interview."

"Kerja dimana, Tos?"

"Di KFC. Jadi pelayan restoran siap saji."

"Mosok lulusan sarjana kerjanya jadi pelayan."

"Gak apa – apa, Cak. Yang penting halal. Tapi, lumayan, Cak. Gajinya udah masuk UMR Kota Surabaya. Daripada gue nganggur gak jelas. Lebih baik gue terima aja tawaranya."

"Yo wes, kalau itu kemauan kamu. Jangan lupa duitnya di tabung. Siapa tahu kalau kamu punya modal bisa buka usaha sendiri kayak Cak Kamto."

Sungguh sangat pelik nasib negara kita ini. Sudah berapa tahun negara kita di jajah oleh negara lain dan pada akhirnya negara kita bisa merdeka. Gue sebagai anak bangsa lulusan sarjana merasa malu. Terpaksa gue melakukan hal ini. Sebuah perusahaan besar yang di kelola oleh orang asing. Dia tidak pernah mengalami masa – masa negara kita pernah terpuruk oleh berbagai krisis finansial maupun krisis pangan. Mereka dengan seenaknya sendiri mengambil lahan di negara kita untuk mendirikan pabrik – pabrik besar. Tapi apalah daya. Gue hanya lulusan sarjana dengan IPK jelek, namun gue punya keinginan besar untuk memberantas pabrik – pabrik asing itu.

Gembel BerdasiWhere stories live. Discover now