Dalam Lipatan Origami

468 4 0
                                    


Di luar hujan tak berhenti, datang ketika siang dan kini mulai menjajah malam, menebarkan hawa dingin seperti dementor yang haus akan memori. Di dalam, terapit oleh benteng-benteng keindivualisan, aku duduk bersila menatap setitik cahaya dari penanak nasi elektonik, menunggu suara petikan pertanda santapan siap dimamah diikuti oleh perpindahan cahaya, hijau berganti merah. Perutku kosong, ketat seperti dililit korset, tak sabar terisi oleh butir-butir nasi yang mengenyangkan.

Asap mengepul, tergesa-gesa melalui celah, mengingatkanku akan ibu-ibu yang berebut baju di toko pakaian di bulan puasa, seolah takkan lagi ada pabrik baju yang tersisa di dunia ini. Wajahku tersapu uap, hangat yang kontras dengan angin yang dingin, membuat aku lena akan mimpi semalam.

Aku telanjang dengan tubuh kerdilku, berenang dalam genangan air bekas hujan di halaman belakang, menutupi semua rumput dan tumbuhan kecil, seolah itu adalah danau yang tak pernah kering. Matahari bersinar terik, seolah tak ada hujan sebelumnya, dan mataku menyipit silau, hingga sebuah bayangan menyelamatkan retina mataku, jatuh dari langit dan mendarat di teras, rapi di atas keramik putih yang polos.

Ini adalah semesta mimpi, dan logika di sini berbeda dengan dunia yang bukan mimpi. Maka, ketika tubuhku berbalut pakaian sederhana yang nyaman, dan sudah berdiri tepat di samping kertas biru yang terkapar di teras tanpa tahu bagaimana aku bisa ada di sana, semuanya terasa wajar, walaupun tubuhku masih kerdil tapi tak cukup kecil untuk dirundung oleh para semut. Kertas itu pun kulipat rapi hingga terciptalah origami perahu. Dan detik setelahnya, aku sudah berlayar dengan karya lipatanku itu.

Semuanya terasa begitu ajaib namun juga begitu wajar. Tentang air yang jernih, tarian rumput di bawahku mengikuti pola riak air, bebatuan yang tersusun rapi, semuanya membikin candu. Bahkan aku bisa melihat diriku sendiri tengah berlayar menuju ke pagar dalam ekspresi damai, mencapai matahari yang mulai terbenam. Ya, aku tak salah omong. Aku tengah memandang diriku sendiri. Aku yang bertubuh normal, tengah berjongkok agar mata serata air, sedang menyaksikan diriku yang mungil mengarungi danau genangan.

Tubuh kerdilku berbalik dan aku yang besar pun tertangkap mata. Kami saling bertatap muka, dalam diam yang tak pernah berakhir. Saat itulah aku sadar bahwa hanya ada satu di antara kami yang nyata. Dan satu yang lainnya, aku yang kerdil, hanyalah buah pikiran yang aku petik dari kesadaranku, kesedihan yang ingin kubuang jauh.

Kupetik ia dengan hati-hati seperti mawar yang tengah mekar dengan kelopak yang begitu rawan, lalu kusisipkan ia dalam lipatan-lipatan kertas, kutitip pada tetesan-tetesan hujan hingga ia hanyut terbawa arus. Ke mana perginya? Entahlah. aku tak mau tahu.

Mungkin ia akan menyatu dengan sungai menuju ke muara, singgah sebentar di danau sebelum akhirnya mencapai hamparan laut atau bahkan samudra. Ia akan bertemu seorang nelayan tua yang penuh keluh kesah, kesal akan ikan-ikan yang semakin cerdas, yang mulai tahu apa itu umpan dan punya tempat bersembunyi agar aman. Mereka mulai mengepak-ngepakkan sirip, mencoba terbang sebab berenang begitu melelahkan dan jauh di atas, di balik awan, ada surga yang harus mereka capai.

Suara klik terdengar, mengejutkan aku, menarikku kembali ke dunia nyata. Kusesalkan mimpi yang berakhir sebelum aku terjaga, yang menciptakan pertanyaan tentang pantai mana pikiran itu akan berlabuh. Atau akankah ia tenggelam terbawa kertas yang basah terasuk air, lenyap dalam samudra yang luas dan dalam, dan menyatu dalam ketiadaan? Begitukah akhir yang aku bayangkan?

Aku tak bisa menjawab pasti iya atau tidak, karena aku sendiri tak begitu yakin apa itu sebuah akhir. Apakah itu benar-benar jalan buntu, atau hanya sebuah gerbang yang membawa ke dimensi lain? Dan kalau dimensi itu adalah kegelapan yang eternal, apakah aku siap? Akan adakah sisa-sisa lilin yang mampu aku nyalakan sebelum aku membuka gerbangnya? Sebab jika aku harus punya akhir, meski pun itu tak pasti apa maksudnya, maka cahaya harus ada, karena aku tak ingin sesal merasuk emosiku, memisahkan yang abadi dari kenyamanan. Begitulah bagaimana aku mengira senyuman bisa terukir atas perjalanan yang lelah kulalui, sebelum aku padu dalam kelam.

Aku yang kini dan aku yang dulu, adakah rasa iri yang memisahkan mereka? atau hanya rasa sesal? Apakah masa laluku akan bangga pada aku yang kini, atau ia akan menangisi pikiran-pikiran kekinianku? Tentang jalan-jalan yang terus berkelok, jejak-jejak yang aku tinggalkan, dan tanda-tanda yang kucoba baca, apakah aku yang dulu akan tersenyum? Kalau seandainya ia tak senang, lalu apa yang bisa ia perbuat? Sebab ia begitu jauh namun juga sangat berpengaruh. Karena ia yang dulu mengira menanam buah, kini malah panen getah.

Ah, pikiran ini. Lapar dan hujan. Malam dan dingin. Semuanya adalah gerbang dan besi berani, sementara aku hanyalah sebongkah logam yang tak tahu arah. Waktunya mengisi perut, sebab aku tak ingin lapar mengakhiri perjalananku, karena malam masih panjang, aku belum lelah, dan jalanan masih punya banyak cabang yang menyimpan misteri. Satu per satu, akan kuungkap apa yang tersedia untukku.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now