Aku dan Kamu: Asing

116 0 0
                                    

Aku dan Kamu. Kita. Duduk berdua berpayungkan bayangan pohon, di sudut kota yang semi-sepi dengan kenderaan berlalu-lalang bak binatang liar di belantara, abai akan keberadaan kita seolah kita hanyalah sepasang rumput yang hanya mampu bergoyang kala angin bertiup rendah membumi. Remang cahaya kota, sinar jingga yang manja, seperti sepotong senja di kegelapan malam, membuat gerimis terasa romantis, bahkan bagi dua orang asing yang saling bertatap mata penuh tanya, Aku dan Kamu.

Gedung tua ini pastilah punya banyak cerita, tentang kucing liar penjajah malam yang berburu tikus penghuni got atau kecoa penguasa sampah; atau tentang anjing yang lupa jalan pulang, menjauh dari rumah di mana ia bisa dengan bangga menggonggong dari balik pagar tinggi menjulang, menjadi pengembara yang tak pernah tahu di mana garis akhir. Dan pastinya, tentang manusia-manusia, atau dua manusia, sepasang yang berbagi cinta, atau benci, atau keasingan, seperti Aku dan Kamu. Kita, dalam keterasingan urban, saling tatap, menikmati gerimis yang romantis dan petikan senja yang manja, terikat dalam keengganan dan terpisah dalam kesantunan.

Kamu terlihat letih, dengan mata yang sendu seolah tersapu rindu. Adakah orang yang sedang kamu pikirkan di sudut lain Bumi? Apakah ia belahan jiwamu atau mantan rahimmu? Apakah dia tempat di mana semua dendammu tercurahkan? sebab benci begitu besar namun engkau begitu suci, seputih awan yang jauh tak terjangkau. Adakah Aku di dalam kepalamu? Sebab kamu menatapku, dalam diam, namun enggan mendekati, seolah ada kutukan dalam langkah pertamamu. Caramu bersila, keelegananmu yang menyatu dengan malam, membuat aku tak tentu rasa. Apakah sisi kosong di samping dudukmu itu sengaja Kausediakan untukku?

Purnama merekah seperti bocah yang tak henti tertawa, terus bersinar meski rintik gerimis terus terhisap gravitasi. Seandainya ia punya omong, akankah ada aku di dalam topiknya? Sebab aku merasa penting dan ia adalah bagian dari malamku, yang selalu kutatap dan selalu kuninabobokkan walau aku tahu ia tak butuh tidur. Karena ia adalah tempat sampah, di mana semua masalahku kurangkai dalam kata-kata, kulemparkan dengan imajinasiku hingga menumpuk di setiap permukaannya. Tapi, aku tak begitu pasti. Sampaikah semua pesanku itu padanya? Terkutuklah atmosfer Bumi kalau ia menjaring semua curahan hidupku, menahan semuanya hingga tak tercicip oleh Bulan. Dan kalau ia tengah menyaksikanku kali ini, berjongkok di sudut bangunan tua di pinggir trotoar basah, akankah ia mengerti kebingunganku? Bisakah ia membaca pikiranku? Sebab aku ingin ia membaca pikiran Kamu, yang terus menatapku namun telingamu buntu, oleh sepasang kabel yang diujungnya terdendangkan melodi yang tak kutahu bercerita tentang apa, dan Kamu begitu pelit berbaginya denganku.

Kamu, yang duduk bersila tiga langkah di depanku, yang terus mengangguk-angguk degan iringan musik yang tak mau kaubagi, bisakah pikiran ini kaubaca? Sebab aku mulai putus harapan pada Bulan yang mendiamkanku, mengabaikan semua omongku tentang dirimu. Apa guna Bulan kalau Aku bisa langsung berbicara padamu? Tapi, Kamu tak bisa lebih daripada sekedar diam. Apakah Kamu manusia setengah manekin?

Bukalah mulutmu, hai Kamu yang asing. Sebab Aku percaya akan pertanda, tetapi aku tak lebih dari sekedar pecundang, memperlakukan setiap tanda-tanda seperti roti yang tak kusukai dan kubiarkan membusuk. Hingga waktu-waktu berlalu, dan perutku mulai kosong, maka sesal pun mulai menjajah pikirku. Aku tahu itu buruk, tapi aku terpenjara oleh kepribadianku yang merugi ini. Maka, selamatkanlah Aku dari keheningan ini, hai Kamu.

Cepat atau lambat, gerimis ini akan berhenti, menjadi gerbang bagi perjalanan yang terbelah dua, untukku dan untukmu. Akankah kaubiarkan aku berlalu begitu saja, seperti debu yang menghiasi hidupmu, kausapu dan kaulupakan? Jadilah sepertiku, yang sedikit merasa lebih baik darimu tapi lebih banyak iri padamu, sebab percaya pada pertanda bukanlah hal buruk, dan cukuplah Aku yang menjadi pecundang. Dekati Aku, atau lambaikan bendera papan caturmu, agar Aku mendekat. Karena begitu akan kuberitahukan siapa Aku, namaku dan tempat tinggalku serta satu rahasiaku; sebuah kamar kosong di sudut tersunyi hatiku. Maukah Kamu hinggap di sana? Bersarang seperti laba-laba yang tak pernah kelaparan. Setidaknya, berikan Aku satu kata, ajari Aku tentang namamu dan artinya.

Ah, gerimis pun berhenti dan Kamu pun mulai berdiri. Rapikanlah celanamu itu, atau kabel-kabel musikmu itu, simpan baik-baik agar perjalananmu damai sampai ke ranjangmu. Lupakanlah Aku, sebab Aku hanyalah semut yang hanya mampu menatapmu dari kejauhan, tak ada artinya sama sekali sebab Aku begitu kecil, di sudut yang begitu jauh, dan Kamu di sana, benderang seperti mentari di siang terik. Selamat tinggal. Hidup memang tak adil, jadi tak mengapa kalau Aku masih di sini, berpura-pura gerimis berganti hujan lebat dan...

"Hei, Kamu! Mau jalan bareng?" Kamu mengganti Aku menjadi Kamu-mu. Apakah pikiran kita kembar? Atau semesta menjebak Kita lagi?

Astaga. Suaramu membuatku mengangguk. Aku tak menyangka Kamu mampu menghipnosis, membuat aku merasa melayang mencapai rasi bintang di ujung semesta tanpa sedikit pun mengkhianati gravitasi. Tentu saja Aku mau. Aku harap bayangan pohon ini tak menghalangi senyuman terlebarku, sebab itu jauh lebih luas daripada kata-kata yang mampu kusuarakan saat ini.

Kamu dan Aku. Kita. Yang terjebak gerimis di bawah atap bangunan tertua, saling tatap dalam penuh tanya, kini melalui jalan yang sama. Kita tak lagi asing, sebab namamu, dan namaku, kini terucap di masing-masing mulut Kita. Dan kakimu serta kakiku, kini melangkah menuju ke satu arah yang sama.

Malam, Oh Bulan yang purnama, dan Bangunan Tua saksi bisu kota, Aku berterima kasih dengan sangat tulus dan besar kepada mereka, atas restu yang diamini semesta. Dan ketika Kamu tersenyum, Aku tahu Kita berucap bahasa hati yang sama. Bersama, kita meleburkan makna keakuan dan kekamuan, mengasimilasikannya menjadi Kita.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now