Nyanyian Laut

63 0 0
                                    

Nyanyian Laut

Bintang jatuh, mendarat di mimpiku, merusak tidurku. Ketika aku terbangun, aku menemukan tubuhku terbaring berkasurkan pasir di pinggir laut, berselimutkan angin laut yang menghangatkan. Wajah bulan tersenyum manja menatapku. Warnanya putih pucat, mendominasi malam yang tak berawan dan tak berbintang. Deburan ombak menyapaku, mengucapkan selamat malam paling tulus yang pernah aku dapatkan.

"Seharusnya aku tak berada di sini," ujarku, berkata pada diri sendiri seolah aku yang mendengarkan bukanlah orang yang sama dengan aku yang berbicara. Aku menatap garis laut, naik turun hampir menyentuh kakiku. "Kalau saja aku terbawa arus, aku bisa mati dimakan hiu."

Aku berdiri dan mulai menyeret kakiku. Beberapa langkah, aku berhenti sekedar untuk melihat jejak yang aku ciptakan. Sepasang kaki yang tiba-tiba muncul di atas pasir basah berasal dari sebauh tubuh yang terbaring, tanpa tahu dari mana. Tak ada jejak apa-apa di sekelilingnya, seolah aku jatuh dari langit. Makhluk yang tak diinginkan.

Kubalik kembali tubuhku, mengabaikan apa yang seharusnya aku jauhi, dan kembali melangkah menuju ke sebuah pondok kecil yang berdiri di atas tanah solid. Ada pohon duras tumbuh tinggi di sampingnya. Selain sebuah meja panjang dan satu bangku di sampingnya, tak ada apa-apa lagi di pondok itu, hanya sebuah ransel milikku yang masih tergantung dengan aman. Juga tak ada listrik yang mampu membantu mataku melihat, hanya sinar rembulan, hingga aku mau tak mau harus meraba-raba mencari korek di ranselku.

Korek itu masih baru, belum pernah kupakai karena tak punya kesempatan untuk itu. Tak ada rokok yang ingin kuhisap, atau pun kayu yang semestinya aku bakar, hingga malam ini. Jadi, kayu bakar yang siangnya aku beli pada pemilik pondok yang datang sekedar untuk menjual makanan ringan di pantai yang sepi pengunjung ini, adalah api pertama yang dihasilkan oleh korek yang aku beli sebulan lalu. Berkat daun kelapa kering yang rontok, yang terkulai lemah tak jauh dari seikat kayu bakarku ini, api dengan mudah menyala, memberikan warna baru bagi malamku yang hanya bercahayakan bulan.

Di depan api unggun, aku duduk di sudut yang tak dilalui oleh asap. Angin bertiup sendu, mengantarkan suara laut hingga terdengar bersahabat di telingaku. Sementara di perutku, suara lain ikut berbunyi. Aku mulai lapar, tapi tak ada apa-apa selain sebungkus mie instan yang bisa aku makan, yang juga aku beli pada ibu yang sama tadi siang. Akhirnya, karena tak ada tempat untuk memasaknya, aku hanya bisa memakannya mentah-mentah seperti anak-anak.

Aku menatap laut, mencoba mencari ujung yang sepertinya mustahil bisa aku temukan. Tak hanya ada kegelapan, tetapi di bawah sinar bulan, laut terlihat seperti permukaan keramik yang bergelombang di ruangan tak berdinding maupun bersudut. Sekalinya ada ujung, itu adalah di mana langit mulai tumbuh. dengan mulut yang dipenuhi mie mentah, aku mengangguk-angguk. Laut tak jauh berbeda dengan hidupku, pikirku, sama membosankan dan tak bisa ditebak.

"Seandainya aku tak terlelap hingga esok hari, dan berhasil menyaksikan malam berganti menjadi pagi, maka aku harus mulai mencari tahu. Apa saja, yang mungkin saja membuat hidupku bisa dinikmati."

Aku mengangguk-angguk lagi, menyetujui kata-kata yang keluar dari mulutku.

"Tapi kalau seandainya aku tak menemukan jawaban, bahkan tidak pertanyaan, maka aku punya alasan untuk terus begini. Walaupun aku sebenarnya tak mau."

Aku mulai berbaring. Setengah kakiku menyentuh pasir, sementara kepalaku berbantalkan akar duras. Rumput yang ditindih oleh tubuhku terasa empuk dibandingkan tanah disekitarnya. Mulutku masih sibuk, mengunyah mie mentah yang kini mulai terasa seperti bubur, dan sesekali meludah ketika menemukan bumbu yang terlalu kuat untuk lidahku. Aku meyakinkan diri, aku harus menemukan pagi.

Tapi malam mulai bernyanyi. Dengan dendang merdu oleh ombak yang berdebu menghempas karang, atau angin yang mengelus dedaunan di atas kepalaku, mereka kembali mengundang kantuk. Ketika aku tersadar, kilauan mentari sudah menusuk kelopakku, memaksa masuk ke retina mataku.

"Aku telat lagi," keluhku.

"Tenang. Di sudut dunia lainnya, langit masih gelap." Bukan aku yang berujar. Tapi ibu pedagang, yang telah kembali datang untuk mengisi pondok dagangannya. Ia tak sendirian. Di depanku, di hamparan laut, telah bertebaran manusia yang mulai memanen rumput laut.

"Juga di sudut dunia lainnya, seseorang merindukanku," ujarku, lebih kepada diriku sendiri, dengan sebuah senyuman ganjil yang datang tak diundang emosi. Aku segera bangkit. "Aku harus pulang. Mungkin bulan depan aku ke sini lagi," ujarku.

Ibu itu tersenyum seraya mengangguk ramah. Tanpa kata-kata ia melambaikan ucapan selamat tinggal yang paling hangat, membuat hidupku sejenak merasa berarti.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now