Empati

90 1 0
                                    

"Petani sekarang egois," keluh Nenek.

Tersandar di jok abu-abu, dengan rambut sewarna perak dan kulit selentur cucian yang belum tersetrika, dia tampak sangat tua dan lelah. Tapi senyumannya terasa muda, walau penuh aura sindiran.

Telunjuknya perkasa, terarahkan ke hamparan sawah yang ada di kiri-kanan jalan, satu berbataskan bukit dan satu berbataskan danau. "Lihat," ujarnya. "Dulu, semuanya dilakukan bersama. Panen. Mencangkul. Menanam bibit. Semuanya seragam. Lihat sekarang. Sawah seperti rambut yang dipangkas tukang cukur bodoh. Memalukan."

Ibu mengelus rambutnya. Sekumpulan rambut yang sangat tipis, terurai seperti ujung jarum. Menua, kata sebagian orang, adalah mimpi buruk. Entahlah, aku tak tahu. Tapi, sepertinya aku bisa mengerti kenapa demikian. Aku membandingkan nenekku yang sekarang dengan dia yang beku di dalam bingkai potret di ruang tamu rumah Ibu. Muda dan anggun dengan sanggul hitam di kepalanya. Aku rasa dia memakai kebaya berwarna merah mawar. Sayang, teknologi saat itu belum bisa menggambarkannya hingga hanya tersisa warna-warna usang yang menatapnya seperti tenggelam ke dalam kenangan.

Mobil kami melaju perlahan tapi pasti. Ayah tak suka buru-buru. Katanya, tak ada satupun di dunia ini yang pantas dikejar, hingga harus meresikokan nyawa. Tidak ada. Katanya lagi, "Tuhan benci orang yang bunuh diri." Dan aku tahu maksudnya: bunuh diri ada banyak jenis dan caranya. Itu juga kenapa dia tak lagi merokok.

Tatapanku jatuh pada Nenek. Ketika dia minum dari botol air mineral yang diserahkan Ibu, tenggorokannya bergerak seperti air mendidih. Dia begitu kurus dan begitu keriput. Satu hal yang sangat malu untuk kuakui adalah, bahwa setiap kali aku menatapnya, aku diingatkan oleh kematian. Perpisahan tanpa pertemuan kembali.

"Pernah sekali," ujar temanku. "Aku menatap langit dan berpikir untuk mengakhiri semuanya. Saat itu aku berdiri sendirian, begitu jauh dari keramaian, namun dikelilingi oleh kebisingan. Isi kepalaku adalah pasar yang tak pernah berhenti dikunjungi pembeli. Itu membuat aku seperti menjadi teman dekat kematian. Sosok yang tak pernah meninggalkanku."

Tadi sore, setelah Nenekku terbaring aman di kasurnya, Aku menelpon temanku itu dan meminta untuk bertemu di sebuah kafe di pinggir kota. Kota yang terlalu kecil untuk disebut kota. Aku butuh air segar, dan aku ingin mendengarkan sesuatu yang dalam. Dia, temanku ini, adalah satu yang mampu membuatku merasa nyaman dengan kegelapan pikiranku. Dan ketika aku mengaku padanya, dia pun mengangguk maklum.

"Aku letih," ujarku. "Perjalanan dari rumah sakit terasa menyiksa. Aku benci mengakuinya, tapi aku merasakannya. Aku merasa seperti korban, walau rasa sayangku pada nenek tak sebesar apa yang dirasakan Ibuku. Dan dalam kematian, apakah ada korban? Aku kira mereka yang mati bukan korban. Dan . . . apalagi aku."

Dia menggeleng. "Bukan. Mereka adalah alur cerita."

Di depan es yang terus meleleh di dalam gelasku, Aku merasa seperti orang bodoh. Semua manusia itu bodoh. "Kematian itu tak terhindarkan," ujarnya. "Semua orang akan mati."

Aku menggeleng. "Satu orang yang mampu membuktikan yang sebaliknya adalah orang terakhir yang menyaksikan kematian. Manusia terakhir yang terus hidup dalam kesendirian yang abadi. Dan saat itu, keabadian hanya akan menjadi kutukan dengan satu-satunya penawar yaitu kematian."

Senyumannya penuh kesedihan. Aku benci itu. Dia mengingatkanku pada nenekku.

Nenekku yang membenci sawah yang tak rata. Nenekku yang benci teh yang tak kelat. Nenekku yang lebih menikmati air daun kopi dibanding biji kopinya sendiri. Nenek yang akhir-akhir ini mulai merindukan sirih di antara geliginya.

Pantas dia menjadi begitu pahit.

Saat lari santai tadi pagi, Aku tersandung akar belimbing. Lututku lecet dan aku langsung mengeluh. Kutendang pohon itu dan kuludahkan kata-kata serapah seolah dia mampu mengerti dan takkan melakukan hal yang sama. Aku pikir, pastinya menyakitkan sekali kalau kejadian itu mampu membuat tulang kakiku patah. Entah berapa bulan waktu yang harus kuhabisi tanpa bisa melakukan hal-hal yang biasa kulakukan. Lebih buruk lagi, apakah aku akan bisa lari seperti sebelumnya?

Nenekku pasti mengerti. Dan aku perlahan-lahan juga ikut mengerti. Dia jatuh sakit, tapi itu bukan satu-satunya yang membuatnya merasa sakit. Aku rasa inilah yang dikatakan patah hati. Terakhir kali aku melihat dia begitu murung adalah saat kakekku mati. Walau menangis tanpa air mata, aku bisa merasakan perih yang menyayat hatinya. Dan sekarang, ketika semua ini terjadi, ketika hal terakhir yang dimilikinya: fisiknya sendiri, direnggut perlahan-lahan oleh waktu, dia tak bisa melakukan apa-apa selain menjadi saksi. Hidup itu indah. Tapi ketika kita diingatkan oleh kematian, maka keindahkan itu langsung memudar. Cendrung ia tampak kejam.

"Sejak kapan kalian makan batu?" sindir Nenek saat makan malam. Bibirnya monyong, berusaha meludahkan nasi-nasi yang dia sumbat sendiri ke mulutnya. Lalu tatapannya jatuh pada Ibu, padaku, dan pada kaca lemari yang memperlihatkan refleksinya sendiri.

"Tunggu kalian tua, kalian akan mengerti," ujarnya. Lalu dia berdiri meninggalkan kami.

Pagi ini Nenekku ditemukan terkapar di lantai kamarnya. Matanya melotot dan tubuhnya kaku. Aku terbangun ketika mendengar pekikan Ibu yang tak biasa. Lalu, tiba-tiba saja rumahku dipenuhi oleh manusia-manusia yang saling membantu. Orang-orang asing yang datang seperti semut menemukan gula.

Temanku datang membawa sebuah buku tulis. Ketika dia melihat mataku yang merah penuh jejak air mata kesedihan, dia langsung memelukku. "Kamu tahu ini akan terjadi."

Aku mengangguk.

"Aku juga tahu ini akan menyakitkan. Dan itu benar. Tapi, seberapa pun aku sudah mempersiapkan diri, itu tak ada bedanya," ujarku.

Semiang senyum muncul di wajahnya. Aku bisa merasakan simpati mengalir dari tatapannya, mencoba meraihku yang entah kenapa terasa semakin menjauh. Aku melangkah, tanpa bisa menggerakkan kakiku.

"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," ujarnya. Aku pun membawanya ke kamarku, satu-satunya ruangan yang sepi di rumah Ibu saat itu, yang membuat aura kematian terasa mencekam.

Buku tulis merah mudah itu dihempaskannya ke kasur. "Lihat," ujarnya.

Aku menurut. Berdiri tegap di samping pintu dengan mata menatap posisi buku yang melengkung akibat lipatan tak sempurna.

"Maksudku buka halamannya."

Aku mengikuti perintahnya.

"Kosong," ujarku. Dia mengangguk dan merebahkan tubuhnya ke kasur, lalu terlelap di sampingku.

Ketika dia terbangun, malam sudah begitu gelap dan Nenekku sudah sempurna ditimbun tanah, lengkap dengan siraman bunga di atasnya. Aku membawakannya sepiring nasi dan semangkuk rendang yang dimasak oleh tetangga untuk menu tahlilan.

"Bukunya masih kosong?" tanyanya.

Aku mengangguk. Aku tak memeriksanya, tapi aku tahu.

"Apakah ini semacam tindakan kefilsufanmu?" tantangku.

Dia menggeleng.

"Apakah aku harus mencari tahu apa maksud pertanyaanmu?"

Dia menggeleng lagi.

"Aku cuma ingin istirahat di sini. Merasakan sedihmu dan menunggu, kalau-kalau ada sesuatu yang muncul di kepalaku untuk kutulis. Sudah kubilang, bukan, sekarang aku lebih suka menulis dengan tangan alih-alih mengetik."

Aku mengangguk dan berdehem.

"Kalau begitu, sebaiknya kau tulis ini: Aku sedih, karena aku tak bisa lagi mendengarkan keluh kesah nenekku. Tentu saja aku menyayanginya. Tapi bukan itu alasannya. Baru saja beberapa jam, aku sudah rindu padanya. Tak ada—aku tegaskan lagi: tidak ada—satu pun manusia di dunia ini, yang membuat aku mampu tersenyum mendengarkan keluhannya. Dia meninabobokanku dengan kepahitannya. Curahan hatinya adalah lagu sendu."

Dia mengangguk cepat. Matanya menyipit sejenak, lalu dia bangkit seperti singa jantan yang hendak berburu. Nasi dan rendang yang masih hangat di tanganku diabaikannya hanya demi buku tulis dan pensil patah yang dirogoh dari sakunya.

"Aku tahu apa," ujarnya. "Empati."

Malam itu kami tidur di kamar yang beraroma rendang.

Dalam Lipatan Origami: Kumpulan Cerita Singkat oleh Kell AllanWhere stories live. Discover now