#4

99 9 0
                                    

"Bun, masih inget anak yang suka main sama Alfan dulu gak?" Tanya gue mengawali percakapan antara ibu dan anak. Karena gue bosen nungguin Bunda bikin sarapan, apa salahnya ngajak nostalgia bentaran.

"Hmm? Memangnya kenapa? Kamu kangen banget sama dia?"

Sebenernya Bunda udah tau kalau anak semata wayangnya ini belok. Awalnya dia emang kaget dan ga rela. Tapi mungkin karena keberanian gue dalam mengakui hal itu, Bunda berangsur-angsur menerima kehomoan gue. Ada satu hal yang belum Bunda gue tahu dan itu adalah Identitas sebenarnya dari orang yang ngebuat gue belok dari dulu sampe sekarang.

Gue baru punya keberanian cerita sekarang karena dulu gue pikir perasaan gue buat orang itu cuman sebatas fatamorgana. Gue pikir gue bisa jadi lurus lagi kalau semisalnya gue membiasakan diri dengan perasaan itu. Gue pikir gue bisa suka ke orang lain, dan perasaan buat orang itu bisa perlahan-lahan hilang dengan sendirinya. Tapi nyatanya dari 10 tahun yang lalu, perasaan gue ini ga hilang-hilang, malahan tumbuh lebih besar dari hari ke harinya.

"Dia itu... Raven anak tetangga sebelah." Kata gue perlahan mengamati reaksi Bunda.

Hening untuk beberapa saat. Gue ngerti, Bunda lagi mencerna apa yang dikatakan anaknya ini.

Bunda menghentikan kegiatan nya itu kemudian tersenyum ke arah gue. Gue menelan ludah, takut kalau Bunda malah marah besar.

"Ohh, Raven yang suka kamu bawa ke sini, ya?"

Gue cuman mengangguk buat ngejawab pertanyaan Bunda. Kemudian Bunda membawa 2 piring berisi nasi goreng yang barusan dibuatnya.

"Sarapan dulu, beres sarapan kita bahas itu ya." Ujarnya menatap gue dengan senyuman lembutnya.

Gue menuruti Bunda. Kita berdua sarapan dalam keheningan. Hanya suara detak jam yang menemani.

Seusai makan, Bunda nyamperin gue yang lagi nonton TV.

"Jadi gimana? Udah sampai mana hubungan kamu sama dia?"

Gue kaget dengernya. Ga nyangka Bunda bakal langsung nanyain hubungan gue sama Raven.

Gue tersenyum getir ngejawabnya, "Ya masih temenan, Bun. Karena kejadian sepuluh tahun yang lalu, dia ga inget Alfan sama sekali."

"Maksud kamu kejadian di pantai itu?"Tanya Bunda yang dijawab dengan anggukan.

Bunda tersenyum. Ada kekecewaan dan kesedihan dibaliknya.

"Bunda gak bisa apa-apa dan gak bisa kasih kamu saran. Tapi, apapun pilihan kamu nanti diakhir, Bunda pasti dukung asalkan kamu bahagia. Karena kebahagiaan kamu, kebahagiaan Bunda juga." Ujarnya sambil ngelus-ngelus kepala gue.

Hati gue menghangat karenanya. Pikiran-pikiran yang aneh yang tadi sempet bersarang, sekarang udah hilang. Perasaan-perasaan ragu gue sekarang berubah menjadi perasaan yang kuat buat ngelindungin dia.

'Makasih, Bun.'

XxX

"Kasurnya cuman ada satu."

Gue bersorak ria di dalam hati mengetahui kasur di kamar ini ternyata cuman ada satu. Entah gue harus ber-terima kasih ke Indra atau hanya menganggapnya kebetulan.

"Gue kayaknya tidur di lantai aja deh."

Semangat yang sempet membara dipadamkan oleh air se-sejuk nyanyian Nisa Sabyan ketika Raven bilang pengen tidur di lantai.

Playboy(s)Where stories live. Discover now