3

10.7K 1.6K 80
                                    

Hidup dalam kubangan rasa bersalah memang membuat hati tidak nyaman. Setiap malam, setiap hari bahkan setiap menit, rasanya selalu teringat kesalahan yang di lakukan di masa lalu. Dan menyesal pun, tak ada gunanya. Selain hanya menyiksa diri.

Itulah yang dirasakan oleh Raffa. Menyesal telah pernah mengkhianati istrinya, yang kini sudah jadi mantan istri. Rasa sesal dan rindu selalu menyiksa dirinya. Hari-harinya tak akan lepas dari bayangan sosok mantan istrinya yang nyatanya masih mengisi seluruh relung di hatinya.

Mungkin, jika bisa bertemu atau sekedar melihat dari kejauhan, Raffa tak akan semerana itu. Walaupun sakit saat melihat pujaan hati bersama pria lain, setidaknya dia bisa melihat orang yang sangat dia rindukan. Sayang, mereka terpisah. Jauh, dan sangat jauh. Yang bisa mengobati rasa rindu Raffa hanya foto pernikahan mereka dulu. Ya, dulu. Enam tahun yang lalu sebelum mereka terpisah dengan jarak yang jauh.

Dan kini, untuk sedikit melupakan rasa rindunya, Raffa hanya bisa bekerja. Bekerja dan terus bekerja. Menyibukkan diri agar pikirannya tak terus teringat akan sosok mantan istrinya. Dia akan melakukan apapun agar dia sibuk dan tak ada waktu untuk mengenang masa lalu.

Namun, usahanya selalu sia-sia. Yang akhirnya, dia akan melamun di dekat jendela dengan pikiran melayang pada semua kejadian indah yang dia lewati bersama sang mantan istri di masa lalu.

Seperti saat ini, mood Raffa untuk bekerja hilang tak berbekas saat tak sengaja dia melihat foto mantan istrinya di laci meja. Tumpukan dokumen membuat kepalanya pusing. Dan yang dia lakukan sekarang hanya diam dekat jendela ruangan sambil menatap pemandangan kota dengan hiasan gedung-gedung tinggi.

Pikirannya berkelana pada masa lalu. Bukan hanya kali ini, tapi dia sering melakukan semua itu. Ya, sering. Dengan harapan semoga kejadian indah di masa lalu bisa kembali dia rasakan.

Saat sedang asyik-asyiknya mengenang masa lalu yang indah juga pahit, pintu ruangannya di ketuk. Lebih tepatnya, di gedor dengan sangat kuat. Raffa mendesis kesal mendengarnya. Dia sedang pusing dan gedoran di pintu itu hanya membuatnya tambah pusing.

"Masuk," ucap Raffa malas. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Masuklah seorang wanita dengan dress layaknya putri. Wanita itu tersenyum lebar. Pertanda ada keinginan.

"Aku sedang sibuk," ucap Raffa langsung sebelum wanita itu bicara.

"Aku belum bicara, Raffa! Dengarkan dulu dong!" seru wanita itu kesal. Raffa melirik wanita itu dengan malas. Menepuk sofa di sampingnya sebagai perintah agar wanita itu duduk.

"Nanti setelah makan siang, antar aku ya. Di dekat toko perhiasan langgananku ada butik yang baru buka. Aku denger dari teman kantor tadi kalau baju rancangannya bagus-bagus. Antar aku ya? Ya?" Raffa menghembuskan nafas pelan mendengarnya. Dengan malas, dia pun mengangguk.

"Baiklah," ucap Raffa pasrah.

"Oke. Nanti istirahat aku ke sini lagi. Sekarang, aku mau ke mall dulu," ucap wanita itu. Dia bangkit berdiri dan berlari kecil mendekati pintu.

"Jen, bilang pada Alvin kalau rapat akan di lakukan besok siang," perintah Raffa pada Jena. Adik kakak iparnya.

"Oke." Wanita yang ternyata adalah Jena itu pun menghilang di balik pintu. Raffa menghembuskan nafas pelan lalu melirik ke arah mejanya. Tumpukan dokumen itu seolah memberi isyarat agar segera di selesaikan.

Dengan langkah gontai, Raffa pun beranjak dari sofa menuju kursi kerjanya. Mengambil dokumen paling atas, membacanya dan langsung menandatanganinya. Pekerjaannya memang membosankan. Sangat membosankan jika ditambah otaknya memikirkan Kayla, mantan istrinya. Namun, dia harus bisa mengendalikan diri.

"Andai kau ada di sini," lirih Raffa. Dia mengambil foto Kayla dari dalam laci mejanya. Menatapnya cukup lama berharap rasa rindunya berkurang. Sayang, rasa rindunya malah bertambah. Dan rasanya, dia sudah tak kuat menahan rasa sesak di dada akibat merindukan sosok Kayla.

"Tak apa jika aku tak bisa memilikimu lagi. Yang aku inginkan hanya bertemu denganmu. Walau hanya sekali."

***

Butik yang diberi nama Glory Gallery ini sudah resmi dibuka hari ini. Karena Davina dan Gea membantu mempromosikan, di hari pertama pun sudah lumayan banyak orang yang datang. Kayla senang tentu saja.

Sikap yang ramah membuat Kayla disukai. Pelanggan merasa diutamakan dan jelas itu yang mereka inginkan.

"Kay, kayaknya masih ada yang kurang," komen Gea saat melihat banyak orang yang datang. Sebagian adalah rekan kerjanya dan sebagian lagi rekan kerja Davina. Sisanya, adalah orang yang tak sengaja lewat dan penasaran dengan isi butik Kayla.

"Apa?" tanya Kayla. Dia terlihat antusias sekali menerima kritikan. Berharap dengan kritikan itu walaupun dari sahabatnya akan membuatnya semakin baik.

"Kamu harusnya cari pegawai lebih banyak. Minimal, dua orang lagi. Lihat, dua pegawaimu kerepotan melayani orang yang datang," jawab Gea. Kayla pun langsung melihat pada dua pegawainya yang berusaha bekerja maksimal.

"Kamu benar. Nanti aku cari lagi. Empat orang cukup?" tanya Kayla balik meminta saran pada Gea.

"Cukup lah," jawab Gea. Kayla mengangguk pelan. Dia kembali menatap pada orang-orang yang melihat-lihat baju rancangannya.

"Butikmu menyediakan segala jenis celana, dress, baju, dan rok. Ini saran dariku ya. Coba kalau bisa kamu rancang kebaya dan gaun pengantin juga. Pasti lebih banyak lagi yang minat datang ke sini," ucap Davina.

"Entahlah, Vin. Aku tak tahu apakah bisa atau tidak."

"Jangan pesimis. Coba saja buat satu atau dua gaun pengantin. Kalau banyak yang suka, buat lagi." Davina berusaha menyemangati Kayla. Kayla pun terdiam cukup lama sambil memikirkan saran dari Davina.

"Okelah. Nanti aku coba." Davina tersenyum mendengar itu.

"Bagus. Itu Kayla yang aku kenal. Jangan pesimis oke." Kayla mengangguk sambil tersenyum.

Kayla pun diam sambil memperhatikan sekeliling. Gea dan Davina berbaur dengan orang yang datang. Begitu juga dua pegawainya yang melayani pelanggan.

Pintu butik terbuka dan tertutup dengan cepat karena banyaknya yang datang. Kayla pun tersenyum senang melihatnya. Namun, senyuman itu lenyap kala tak sengaja dia melihat dua orang yang baru saja masuk ke dalam butiknya.

Dua orang berbeda jenis kelamin itu sangat Kayla kenali. Dan entah kenapa dada Kayla terasa sesak melihat mereka. Apalagi, melihat tangan si wanita yang melingkar manja di lengan si lelaki.

Raffa dan Jena. Dua orang yang Kayla kenal dulu. Sampai sekarang dia masih ingat pada dua orang itu.

Kayla melangkah mundur. Merasa tak siap bertemu dengan mereka berdua. Apalagi, jika harus mendengar kenyataan tentang mereka berdua.

Kayla berbalik dan menghadap dinding. Menekan dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Rasanya dia ingin menangis agar rasa sakit dan sesak itu berkurang. Namun, dia tak mau hari pertama dia membuka usaha dihiasi oleh air mata.

"Kay, kamu harus bisa berpikir jernih. Kamu dan dia sudah punya kehidupan masing-masing," bisik Kayla pada dirinya sendiri. Ya, dia sudah bersama Adam. Dan Raffa, sudah bersama Jena. Namun, Kayla merasa heran sekaligus penasaran. Kenapa Raffa bersama Jena dan tak bersama Reysa?

Ah, itu tak penting. Karena nyatanya, dua wanita itu adalah orang yang pernah mencoba dan berhasil menghancurkan rumah tangganya. Mereka berdua sama.

Menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Melihat dua orang itu membuat rasa sesak itu kembali terasa. Namun, Kayla berusaha menguatkan diri.

"Kamu kuat, Kay. Kamu kuat. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik darinya."

_______________________________________

Hai hai... Double up nih...
Bagaimana???
Jangan lupa vote dan komennya ya...

Second ChanceWhere stories live. Discover now