Orang Desa & Orang Kota : Stereotipe Tak Berujung

34 1 0
                                    

"TIN!TIN!TIN!"

Suara kendaraan yang saling mengklakson terdengar jelas di telingaku. Tidak, suaranya bahkan terlalu keras! Suasana saat ini sangat tidak nyaman, sangat sumpek. Kemacetan sore hari di kota Surabaya memang tidak dapat dihindarkan. Ya jelas, ini lho jam pulang kantor. Semua jalanan pasti macet total. Semua orang pasti ingin cepat-cepat pulang setelah bekerja selama kurang lebih setengah hari.

"Kalau kondisi kota begini terus, bisa-bisa Surabaya jadi Jakarta kedua, atau Jakarta junior?", kataku pelan, agak menggumam, pada diriku sendiri.

Untung trotoarnya sepi, jadi tidak ada yang dengar, semoga. Aku lebih nyaman seperti ini. Satu lagi, aku bisa dianggap tidak waras karena berbicara sendiri.

"Dasar. Tipikal-tipikal orang kota ya gini ini, nggak mau ngalah kalau udah punya tekad, apalagi didukung kelelahan jasmani-rohani, haha. Punya tekad sih bagus, tapi kalo semuanya punya tekad, apalagi berlebihan, jadi persaingan, terus konflik dong. Untung aja konfliknya masih kecil, cuma kemacetan. Kalo udah berlebihan, atau kayak katanya Cak Lontong, lebay, malah jadi perpecahan bangsa", sambungku.

Aku kok jadi seperti Bu Sri, ya. Beliau itu guru PPKnku. Hah, ironis sekali. Sembari menunggu mobil jemputan di trotoar tempat aku berdiri sekarang ini, aku malah mengkritik orang kota. Padahal aku sendiri orang kota.

"Semua orang yang tinggal di kota pasti orang kota. Atau, begitukah?", tanyaku pada diriku sendiri.

"Jika pernyataan itu benar, berarti kalangan urban yang tinggal di kota juga jadi orang kota kan? Hmm..."

Aku sekarang jadi tidak begitu yakin. Namun, satu hal yang pasti, di manapun seorang manusia berada, tidak akan bisa mengubah pribadi dari mana ia berasal. Kalau aku bisa "menciptakan" istilah, di Surabaya ini tidak hanya ada ketimpangan sosial, tapi ada juga ketimpangan "pandangan/pemikiran", atau boleh dikatakan begitu.

Ada banyak orang yang sangat mengenal budaya "stereotipe", bahkan sampai mendarah-daging. Menurutku, stereotipe ini isinya hanya pandangan pribadi yang cenderung menyinggung dan sudah sangat-super-melekat di masyarakat, yah setidaknya yang kuketahui, pada masyarakat Surabaya. Ketimpangan itu kondisi yang sangat berbeda jauh, bukan? Nah, yang paling tampak dalam kehidupan sehari-hariku, aku bukan bermaksud menyinggung, tapi di kotaku, orang "desa" selalu dicap kuno, kasar, dan tidak beretika. Hal ini sebenarnya terjadi di semua kota besar, hanya saja tertutupi dengan sisi positif kota itu sendiri.

Lalu, yang membuatku berpikir ketimpangan ini benar-benar terjadi, adalah kesalahan mereka dalam menanggapi stereotipe yang sudah salah itu-kasar dan emosi, membuat stereotipe itu justru semakin mengakar pada masyarakat. Jadi, ada suatu perbedaan yang jauh antara cara berpikir orang "kota" dan orang "desa". Mereka-orang desa dan kota-tidak tahu mereka salah atau tidak, pokoknya ngegas aja, mempertahankan budaya masing-masing, tanpa mau mendengarkan dan memahami. Ya, gitulah. Kalau tidak percaya, amati saja sendiri. Tapi tentu saja ada orang-orang baik, bersahaja, dan berwibawa, yang mampu menghindari perseteruan dan mengedepankan persatuan dalam keberagaman, dan aku fans nomor satu mereka, siapapun itu.

Jujur saja, aku bangga dengan kotaku, Surabaya, yang sudah meraih banyak prestasi nasional maupun internasional karena kebersihannya, kerapiannya, kerindangannya, dan semua hal yang baik tentangnya. Namun bagiku, itu hanya pandangan satu sisi. Di sisi lain yang tertutupi, masih banyak sekali diskriminasi dan stereotipe antar ras, suku, dan juga agama. Memang di mata orang lain tidak terlalu tampak, tapi di mataku, hal-hal seperti itu tampak, jelas sekali. Jadi, mataku yang bermasalah atau gimana?

"Hahaha."

Ups, aku tertawa sendiri di tempat umum, lagi. Dan untungnya, tidak ada orang yang dengar atau memperhatikan, lagi. Kalau ada, aku akan benar-benar dianggap gila. Ini sudah sering terjadi. Aku selalu hilang, tersesat dalam pikiranku sendiri, tepatnya pemikiran-pemikiran "kritisme" yang seharusnya tidak banyak dipikirkan oleh remaja seusiaku. Aku bangga jadi unik, tapi kadang merasa aneh sendiri. Mungkin, kalau kisahku ini diangkat jadi novel atau film, pasti lebih banyak dialog pemikiran daripada suara. Menurutku, mayoritas orang Indonesia, khususnya remaja, lebih meminati kisah romansa dibandingkan kritik sosial yang sifatnya politis.

"Tapi kalau diingat-ingat lagi, sebagian besar pemikiran dan pendapatku itu memang fakta, sih", kataku.

Kata orang, lebih tepatnya kata artikel pembaca di koran, opini dan fakta itu memang susah dibedakan. Hanya satu pembedanya bila diamati dengan jeli, sumber. Kalau sumbernya hanya aku, seorang remaja perempuan yang masih sekolah menengah pertama, kok jadi tidak meyakinkan, ya.

"Tin, tin!"

Eh, kaget aku. Sebuah -tepatnya dua- bunyi klakson membuyarkan lamunan, eh pikiranku. Ah, dua puluh menit kutunggu akhirnya datang juga mobilku, dan ayahku, hehe. Maklum, kan macet, setiap hari -kecuali sabtu dan minggu- juga seperti ini, kok. Aku cepat-cepat lari dan masuk ke mobilku. Aku tidak mau menimbulkan kemacetan yang lebih parah lagi karena mobil yang diparkir di sebelah trotoar.

"Halo, yah!", sapaku sembari me"nyalim"i tangan ayahku.

Aku berusaha terdengar semangat untuk membangkitkan semangat ayahku yang kelelahan setelah selesai bekerja. Untuk siapa? Untukku dan juga keluargaku. Ibuku tidak bekerja dan adikku masih kelas 5 SD. Karena itu aku juga ingin membantu ayah meskipun aku sendiri kelelahan.

"Iya, nak, masih seger aja kamu. Eh, Dhea, tadi ayah belikan nasi goreng Jawa Cak Paijo, kesukaanmu. Ayah taruh di jok belakang."

"Wah, beneran, yah? Ayah ini kok repot-repot, padahal sudah capek, masih sempet aja beliin makanan. Makasih, yah."

Tuh, kan. Sudah bekerja keras banting tulang, ayahku masih sempat memperhatikan kebutuhanku. Ayah memang yang terbaik!

"Halah cuma gitu aja, kamu ini. Ya wis, ndang cepet dimakan. Ayah mau fokus nyetir dulu, hehe."

"Iya, yah."

Nah, beliaulah ayahku, ayah terbaik di dunia! Itu ungkapan yang relatif sih. Tidak usah aku jelaskan ya kenapa relatif, tapi meski begitu aku tidak peduli. Aku sangat mengagumi sosok ayah yang baik, sabar, pekerja keras, dan perhatian. Suatu hari nanti, jika aku sudah menjadi manusia dewasa, aku ingin seperti ayahku. Maksudnya, aku juga ingin berwatak seperti ayahku. Oh ya, kata bunda, dulu waktu seusiaku, ayahku juga sama kritisnya seperti aku. Banyak tanya dan banyak komentar, singkatnya sih gitu. Ada banyak orang pula yang berpendapat, kalau aku ini duplikat ayahku, hanya beda gender. Haha, sebenarnya aku kurang setuju dengan pendapat itu. Ayahku sangat jauh lebih baik daripada aku, aku masih amatir dalam hal kebaikan.

Oh ya, akhirnya terekspos, atau lebih gaulnya, tercyduk juga namaku, hehe. Namaku Dhea, lebih lengkapnya Anandhea Kiranaputri. Aku tidak tahu artinya apa, tapi aku tetap bangga dengan nama yang diberikan kedua orang tuaku itu. Kata orang, nama anak itu doa orang tuanya. Umurku 14 tahun, jadi kelas 3 SMP. Hah, sebentar lagi aku akan menghadapi rangkaian ujian, tapi sejauh ini persiapanku sudah lumayan, jadi bisa lah!

Aku lahir bulan Mei, zodiakku Gemini, zodiak yang paling suka berpendapat dan cenderung sarkastik. Meski sarkastik, aku ini cenderung lebih optimistik, lho, itu sih menurutku. Kalau tidak setuju, nilai saja sendiri. Sisi "kesarkastikan"ku hanya muncul pada beberapa peristiwa tertentu. Yah, nanti atau besok mungkin ada. Aku mengikuti ekstrakurikuler debat sosial di sekolahku, SMP Pancasila Surabaya. Mungkin selain menurun dari ayah, itu juga yang mempengaruhi bakat beropiniku, atau malah bakatku itu yang mendorongku untuk ikut ekstra debat? Aku jadi semakin bingung. Yah intinya, semua kepribadianku itu lah yang membuatku aku, dan aku senang menjadi aku. Aku siapa? Aku Dhea, hehe. 

Hanya Opini (Alexandrena, 9D, 3)Where stories live. Discover now