Generasi Milenial dan Konten Negatif

21 2 0
                                    

"Dhea, kita sudah sampai, nak" , kata-kata ayah membuyarkan lamunanku.

"Eh, eh, iya, yah, maaf aku ngelamun tadi."

"Jangan banyak-banyak ngelamun ya, nak, hehe."

"Oke, yah. Tapi lamunanku berfaedah lho, yah. Tentang kritik sosial. Haha."

"Halah, gayamu nak, masih kecil kok mikir begitu. Hmm ... ayah dulu juga hampir sama sih kayak kamu. Tapi, coba lebih santai saja, kan hidup harus dinikmati karena hidup hanya sekali", kata ayah sambil keluar dari mobil.

"Haha, oke yah, aku sudah nikmatin hidup, kok. Tapi kayanya ga bisa, deh", jawabku sambil keluar dari mobil juga.

"Kenapa ngga bisa, nak?"

"Soalnya aku Dhea, dan keturunannya ayah. Kalo ngga mikir kaya gituan, Dhea bukan Dhea, yah."

"Haha, ya sudah terserah kamu saja, nak" , kata ayah sambil membuka pintu rumah.

Akhirnya, aku pulang juga. Aku cepat-cepat mencari bunda dan menyalimi tangannya. Setelah itu, aku langsung menuju kamarku, mandi, dan menuju meja belajar. Banyak sekali tugas dan PR yang harus kukerjakan buat besok, ada ulangan IPS lagi. Yah, untungnya IPS, pelajaran terfavoritku yang sudah sering kucicil, jadi aku tinggal baca-baca lagi saja. Kok aku tidak enak ya, seperti ada ya-

"KAKAK!!"

"Whaaahh!! Adek! Kamu ngagetin kakak aja, mana teriaknya sambil dorong dari belakang lagi, dasar adik durhaka!"

Heh, dasar anak jaman now. Ucapanku yang mengatai adek durhaka memang berlebihan sih, tapi yang namanya generasi milenial memang harus dikerasi, ralat, agak dikerasi. Karena kalau tidak, mereka akan mengerasi balik. Haha, aku bicara seperti beda generasi, padahal ya sama sebenernya, tapi aku lebih sadar diri. Yang ngga sadar dan terlalu terbawa arus perkembangan jaman, namanya kids jaman now. Karakteristiknya, satu, tabiat semakin tidak sopan.

"Halah, kakak lebay, ga usah sampe durhaka kali. Kalo aku durhaka, Mas Malin dari Papua itu apa? Ultra combo terra giga mega durhaka dong, haha!"

"Ngomong apa sih, garing dek. Satu hal lagi, Malin Kundang itu dari Sumatera, bukan Papua. Gitu ngga mau belajar." 

Dua, pengetahuan kurang karena sering pegang yang namanya HaPe.

"Ya terserah aku dong, Sultan mah bebas."

Dan yang ketiga, suka nyolot dan seenaknya sendiri.

"Beneran, dek. Kalau "kids jaman now" itu sebuah barang atau brand, kakak yakin 99,9 % kalau kamu bakal jadi satu dari lima besar peng"endorse" terpilih. Haha. Ha. Kakak nggak berharap sih."

"Lho, ngga papa kak, kan asyik."

"Nggak, dek. Kakak pengen adek jadi orang sukses. Tapi, kalau dipikir lagi, di zaman serba modern sekarang ini, definisi "orang sukses" juga sudah bergeser sih, dek. Kalau dulu orang sukses itu seperti insinyur atau dokter, sekarang yang namanya vlogger dan youtuber ternama itu juga sudah bisa dibilang sukses. Seperti yang sudah kakak bilang tadi, pekerjaan meng"endorse" barang atau brand di youtube bisa menghasilkan jutaan hingga miliaran rupiah per bulannya, dek. Bahkan per harinya, kalau sudah sangat terkenal atau sampai mendunia. Cocok sih buat adek, tapi kok buat kakak masih asing, ya."

"Kakak ini ngomong apa sih, mbulet terus. Intinya, kalo kerja jadi yutuber atau ploger bisa kaya kan, kak? Hehe."

"Heh, ya singkatnya sih gitu, tapi bukan cuma gitu. Dasar adik laki-laki satu ini. Dah, ke kamarmu sana. Belajar, jangan main hape terus. Kakak juga mau belajar, sekitar satu jam, jangan ganggu. Sana-sana, nanti sama kakak lagi", kataku sambil mendorongnya pelan keluar kamarku. 

Kupikirkan lagi keseluruhan pembicaraanku dengan adek.

"Bener sih, kalau kerja seperti itu memang cepat kaya. Tapi, bagaimana dengan orang-orang yang membuat konten-konten bermuatan negatif, yang juga sama penghasilannya?", aku bicara sendiri lagi.

Ya, masyarakat Indonesia, khususnya yang kurang berpendidikan, mana bisa membedakan yang positif dan negatif, yang penting terhibur saja. Kadang mereka mengerti, tapi ada suatu dorongan dalam diri mereka untuk tetap membuka tontonan seperti itu yang lebih kuat dari dorongan untuk menjauhinya. Kasihan, sih.

Tapi bagiku, lebih kasihan yang membuat konten negatif. Sudah tidak mengerti ini buruk atau tidak, tidak bisa memedulikan dampaknya bagi orang lain, dan kalau ketahuan pemerintah bisa dapat sanksi, bahkan dipenjara. Mungkin saja mereka terpaksa, tapi kan tidak harus membuat konten yang negatif. Maksudku, konten seperti kekerasan, pornografi, ujaran kebencian, dan lainnya.

"Padahal kan masih banyak hal-hal positif yang bisa dijadikan konten. Kok malah pilih yang buruk, ck ck ck."

Tidak adil juga bagi yang membuat konten positif. Kalau mereka merasa tersinggung dengan penghasilan pembuat konten negatif yang sama dengan mereka, bisa-bisa orang-orang positif ini pindah haluan. Aduh, harus ada yang mengingatkan. Tapi aku bisa apa, hanya anak kecil gini, nanti malah dihujat netijen, dikira sok bener, sok pinter. Yah, semoga, kalau saja opiniku ini sampai pada mereka, mereka bisa berubah. Tapi kenyataannya, konten negatif memang lebih digemari. Ngga tahu ya, orang Indo aneh. Padahal aku juga orang Indo, berarti lebih aneh aku dong mengkritik orang Indo, haha.

"Eh, oh iya, PRku! Tugasku! Eh, ternyata masih jam 6 toh. Masih sempet lah, semangat semangat!" Aku pun langsung mengerjakan semua yang perlu kukerjakan. Fuh, banyaknya.

Hanya Opini (Alexandrena, 9D, 3)Where stories live. Discover now