Lima - Para Pemetik Daun Teh

44 1 0
                                    

Matahari masih enggan menampakkan sinarnya, ketika para Pemetik Teh itu berduyun-duyun menuruni jalan setapak sambil membawa hasil petikan daun teh hari ini. Senyum dan canda tawa di tengah mata yang mengantuk sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Ya, dengan adanya daun teh di keranjang mereka berarti akan ada nasi dan lauk pauk yang tersaji hari ini di meja makan. Akan ada senyum dan canda riang anak-anak mereka pagi ini. Akan ada remaja yang semangat berangkat sekolah karena perut mereka terisi.

Daun teh di keranjang, bagi mereka tak hanya berarti sebagai daun teh saja. Tapi juga harapan, dan masa depan.

"Selamat pagi, ini benar dengan ibu Wiyah?" sapa Joshua pada salah satu ibu Pemetik daun teh.

"Pagi, iya betul saya ibu Wiyah. Ada apa ya?" jawab Bu Wiyah takut-takut.

Joshua mengulurkan tangan sambil mengangguk pelan, "Saya Joshua bu, Anak temannya Pak Prabu. Kata Pak Prabu, saya bisa melakukan riset dengan Bu Wiyah karena ibu ini yang paling lama bekerja dengan Pak Prabu,"

"Oh Pak Prabu, iya saya kenal. Saya dulu memang bekerja dengan beliau sekitar 15 tahun, lalu pindah ke sini. Di sini saya sudah sekitar 10 tahunan Den," terang Bu Wiyah.

"Wah berarti Ibu sudah senior ya," Senyum Joshua ramah. "Mari Bu saya bantu bawa keranjangnya ke Pengepul, sambil bisa ngobrol-ngobrol,"

***

"Enggak Re, Joshua baik-baik aja kok. Kamu ga usah khawatir. Dia lagi fokus sama risetnya. Katanya pengen cepet selesai biar bisa cepet ketemu sama kamu," goda Rizky lewat sambungan telpon dengan Rea. Bukannya tenang, gadis itu malah makin merajuk ingin bicara dengan Joshua yang seharian ini ponselnya mati.

Di sisi lain, di lua terdengar suara mesin mobil yang dimatikan. Itu pasti Joshua, pikir Rizky. Dia melongok dari jendela ruang tamu. Benar, itu Joshua.

"Josh, Rea telpon nih," Rizky menyerahkan ponsel miliknya ke tangan Joshua yang baru saja masuk ke villa. Dengan wajah lelah, Joshua menerima dan menjawab panggilan Rea.

"Halo Re,"

"Sayang kamu kemana aja? Seharian ditelpon tapi ga aktif HP nya. Sengaja dimatiin ya?" sungut Rea

Joshua menghela nafas, dengan sabar ia menjawab, "HP ku lowbatt, semalam lupa nge-charge Re,"

"Aku kangen sama kamu, udah hampir sebulan kamu di sana,"

Kalau dekat, rasanya ingin sekali Joshua mengacak rambut hitam Rea. Ia tersenyum membayangkan wajah imut kekasihnya itu. Apalagi kalau sedang merajuk seperti ini. Pasti pipi lembutnya menantang minta dicubit. "Aku juga kangen banget sama kamu Rea," ujar Joshua lirih, di tengah keletihannya.

Joshua merebahkan tubuhnya di atas dipan. Mencoba menahan kantuk sambil mendengarkan celoteh Rea. Tak sengaja pikirannya kembali merangkum pembicaraannya dengan Bu Wiyah.

Bu Wiyah berusia 46 tahun. Ia dan suaminya, Kang Anto, bekerja di perkebunan Om Purba Sejak tahun 1995. Mereka berdua punya anak perempuan yang meninggal di usia 5 tahun. Lalu tahun 2OO3 meeka mendapat anugrah seorang anak perempuan yang sangat cantik dan penurut. Yang selalu membantu mereka memetik daun teh untuk tambahan penghasilan sehari-hari.

Ia kemudian teringat, tahun 2003 ia kehilangan Adinda. Adik perempuan yang sangat manis. Dia membayangkan jika adiknya masih ada, maka sudah berusia 20 tahun. Joshua memejamkan mata. Ada sebutir airmata meluncur di pipinya.

"Josh, sayang, kamu dengerin aku ga sih? Udah tidur ya?"

"Hemm.."

"Ya udah deh, tidur aja. Kamu pasti capek banget ya. Besok telpon aku ya,"

"Hemm.."

***

Dua minggu berlalu sejak telpon terakhir dari Rea, Joshua masih enggan menghubungi gadis itu. Ia terlalu serius mendalami hasil wawancaranya dengan Bu Wiyah dan Pak Anto. Pikirannya terus menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Sayangnya ia masih enggan bertanya langsung soal Ayla, yang ternyata adalah anak kedua Bu wiyah dan Pak Anto.

Siang ini, Joshua tengah asik menemani Ayla memasak di dapur sederhana rumah keluarga Bu Wiyah. Kedua orang tuanya pergi bertemu dengan Pemilik Perkebunan sejak pagi tadi.

Joshua terus saja memperhatikan tingkah laku Ayla. Tak satupun terlepas dari pandangannya. Ayla yang sadar akan hal itu menjadi sedikit jengah. Betapa tidak? Di rumah hanya ada dia dan seorang lelaki tampan yang sedang memperhatikannya intens. Sesekali pandangan mereka bertemu. Joshua yang hanya tersenyum, selalu bisa membuat jantung Ayla berdebar kencang.

"Dicoba Kang, sudah pas belum bumbunya," ujar Ayla malu-malu sambil mengulurkan sendok berisi kuah sayur untuk dicicip Joshua.

Joshua nurut. Sendok itu langsung masuk mulutnya. Dan, "Ah panas," serunya sambil mengibaskan tangan di depan mulutnya.

Ayla panik, ia merasa bersalah. 'Maaf atuh Kang, saya lupa,"

Joshua terkekeh melihat tingkah Ayla yang lucu. Ayla makin cemberut. Reflek Joshua mencubit lembut pipi gadis cantik di depannya. Wajah putih Ayla seketika memerah, ia tertunduk malu.

Tiba-tiba dari depan, Pak Anto dan Ibu Wiyah datang dengan kue kecil di tangan Pak Anto. "Selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat panjang umur kita kan doakan..". Keduanya tampak bahagia.

Dengan terkejut Joshua menatap Ayla yang berurai airmata bahagia. Ya, dia tersenyum sangat bahagia di tengah tangisnya. Ayla meniup lilin bertuliskan angka 20.

Ketiganya berpelukan.

"Ehem," dehem Joshua. "Selamat ulang tahun cantik," bisiknya tepat di telinga Ayla seraya mengecup singkat pipi gadis itu sambil mengedipkan sebelah matanya.

Ayla menggigit bibir bawahnya. Menahan desir aneh di dada yang entah dari mana datangnya.

***

TBC

Thankyou for reading

Jangan lupa vomment nya man teman

Belum di edit, jadi masih banyak typo

Gadis Pemetik TehWhere stories live. Discover now