Lalu Malam Datang

23 0 0
                                    

Semua orang berbicara tentang kebebasan. Yang katanya tak ada belenggu mengikat. Angin menyertai. Menyambut segala harapan yang sudah lama tak tersentuh. Waktu melambat. Kehidupan dimaknai sebagai hidup itu sendiri. Yang katanya bisa melupakan masalah duniawi, pula tempatnya nafsu-nafsu digunakan seperlunya. Benarkah adanya? Itukah kebebasan yang kita inginkan?

Lalu apalah aku? Inikah bebas yang kudambakan dikala dulu? Aku terbang? Tidak. Nyatanya aku tak punya sayap. Ataupun yang paling logis, membeli tiket pesawat pun tak mampu. Hidupku adalah hidup itu sendiri? Tidak. Kadangkala, aku mengartikan nyawa adalah kutukan. Sebuah dosa yang tak termaafkan, hingga diberikanlah aku kesempatan untuk hidup. Dipaksa untuk memandangi ironi-ironi yang bergelimpangan.

Lalu aku, yang menjadi bagian dari sebuah tragedi itu sendiri, memikirkan apa yang orang lain bilang tak usahlah aku pikirkan. Apakah suatu kesalahan, apabila kita menyadari suatu kesalahan yang diulang-ulang? Ataukah kebenaran sejati adalah suatu kesalahan yang dulunya pernah dilakukan? Ataukah yang kuanggap kebenaran sejati itu, sejatinya adalah kesalahan? Atau hanya aku yang berbeda? Merasa bahwa sebuah cacatnya sistem itu adalah bagian dari suatu sistem?

Bukankah kita manusia? Bukankah kita harus belajar dari kesalahan? Namun kesalahankah itu, apabila membenarkan hal yang sudah jelas salah? Maka apakah kita jadi benar, apabila suatu kesalahan kita anggap benar? Benarkah begitu? Kesalahan adalah sebagian potongan dari suatu kebenaran sejati?

Di kolong langit yang muram ini, aku bertanya-tanya, sebaik-baiknya manusia itu seperti apakah? Kitab suci sudah banyak macamnya, namun mengapa tak satupun yang mau membaca mereka dengan hati yang terbuka?

Mungkinkah ada gerangan, kalimat-kalimat indah itu tertutur di atas permukaan bumi ini?

Jikalau kitab suci itu dijamin benarnya, mengapa tak ikuti saja? Meski kebebasan itu lenyap, namun bukankah apa yang kita inginkan adalah kebahagiaan? Seuntai tawa yang sepenuh kalbu, bukan yang dibuat-buat hanya untuk menghibur. Masih pantaskah kita mengatakan kebebasan itu kebahagiaan sejati?

Kadang aku merasa benar-benar bahagia suatu waktu. Bahagia yang sempat kuanggap sebuah keabadian. Kebahagiaan yang sangatlah harfiah, meski sederhana. Sebutir berasa jutaan keindahan, kataku. Lalu dikenalkanlah aku pada bumi yang tengah terluka. Bumi yang nampak indah dilihat itu, ternyata tak secantik parasnya. Aku baru saja berpesta pora, seketika mereka sudah tak lagi mampu menangis. Pantaskah kita memiliki, lalu menelan semua kebahagiaan itu? Bukankah bahagia itu adalah hal yang harus kita bagi?

Lalu suatu waktu, aku mengartikan bahagia adalah serumpun syukur tanpa putus setiap waktunya. Yang dapat kita temukan di sedikit materi, sebuah titik cahaya di antara kelam. Yang selalu kita bandingkan dengan sesama lainnya, yang tak keadaannya jauh lebih buruk dari kita. 

Bersyukurlah, kita masih mending dengan manusia lainnya di luar sana. 

Oke, kita syukur karenanya, namun yang kurasa hanyalah sebuah suara keputus-asaan, ketidakmampuan yang dimaklumi. Ironisnya, mengapa tak kita bagi dengan “manusia lainnya” itu? Kenapa? Takut kehabisan kah? Bukankah bahagia adalah zat yang takkan habis meski dibagi, justru berlipat? Seakan kita berpura-pura tak melihat adanya ketidak-layakan, lalu egois, dan mensyukuri hidup apa adanya. Mewajarkan sebuah kedzaliman? Masih bisakah kita pantas untuk tenang-tenang saja, lalu bersyukur?

Lalu apa yang harus dilakukan?

Ledakan di PenjaraWhere stories live. Discover now