1. Konsepsi

60 6 9
                                    

Kon.sep.si:
Pengertian, Pendapat (Paham)



-2013-

"

Anak pintar! Sini, Nak." Mira menepuk tempat kosong di sebelahnya, memberikan Ale jalan buntu untuk menolak apapun yang saat ini sedang dia rencanakan dalam kepala. Entah mengapa sofa panjang berukuran empat orang dewasa itu terasa lebih sempit dari biasanya.

Jika sebutan 'pintar' sudah keluar dari mulut sang ibu, Ale patut waspada. Pasalnya, Aidan sudah duduk lebih dulu bersama Mira dengan wajah serius tingkat akhir. Ale memandang Aidan, mencoba bertelepati dengan mata 'Apa kita berbuat ulah?' tapi Aidan hanya menjawab dengan bahasa kalbunya-helaan napas panjang.

Mira mengamati kedua putranya bergantian. Menelisik kakak beradik itu dengan senyum ceria. "Bunda tadi ngobrol banyak sama Shafira di acara nikahannya Rama."

Siaga satu.

Aidan yang lebih tahu ke mana arah pembicaraan Mira, menjawab santai, "hm, terus?"

"Selain cantik, dia juga dewasa dan cerdas."

Kali ini Ale yang baru bisa membaca dialog apa yang akan terjadi selanjutnya. Jarang-jarang sang ibu memuji perempuan dengan tiga kata itu sebagai sebuah kombinasi.

Pembawaan Ale yang lebih santai mengundang perhatian Mira. "Iya, ga, Le? Kalian satu kantor, kan dulu?"

Ale mengangguk. "Pernah jadi pacar Aidan."

Berbeda dengan binar mata sang ibu yang mengalahkan terik matahari di pertengahan tahun, Aidan justru memaki sang kakak dalam hati karena tidak bisa bekerja sama untuk keselamatan mereka bersama. "Yaelah, Bang. Itu cinta monyet. Masih SMA juga. Gue udah lupa."

"Kenapa gak coba deketin dia lagi, Aidan? Kapan-kapan ajak main ke sini.

Aidan memandang Ale yang berada di seberangnya, meminta pertolongan agar melalukan sesuatu sebelum pembicaraan semakin melebar ke jalur merah. Namun, Ale menangkap itu sebagai ekspresi paling bagus versi Aidan saat kebelet BAB.

Aidan bahkan lupa, kapan terakhir kali dia bisa mengandalkan kakaknya untuk sesuatu yang urgen seperti sekarang. Hari-hari mereka penuh dengan saling ejek dan meributkan hal konyol, seolah itu adalah rutinitas normal dalam hubungan mereka berdua.

"Mana kaos kaki gue?"

"Celana dalem gue ilang satu. Lo kemanain, Bang?"

"Bang, ke mesjid, yuk?"

Nah, dari keabsurdan Aidan, kalimat terakhir adalah satu-satunya hal benar diantara ketidakbenaran yang selalu pria 29 tahun itu banggakan di depan sang ibu.

Dalam pandangan umum masyarakat, Aidan lebih potensial dijadikan menantu. Tampang ramah, murah senyum, pandai bersosialisasi dan pekerjaan mapan sebagai seorang dokter spesialis membuat tak sedikit wanita menyatakan ketertarikan mereka padanya. Namun, tidak dengan Ale.

"Bun, ini bukan seperti yang Aidan pikir, 'kan?" Aidan bahkan sudah duduk tegak menghadap penuh pada sang ibu. Jika dipikir-pikir, selama ini Mira tidak pernah meminta hal yang menjurus ke arah sana pada ke dua anaknya. Ibu dua anak itu selalu membebaskan Ale dan Aidan memilih apapun yang menjadi tujuan hidup mereka, selama itu dalam konteks tidak merugikan diri sendiri atau orang lain.

"Memang apa yang kamu pikirkan?"

Aidan terlihat ragu mengatakannya. Jika dia salah, maka itu justru akan menjadi bumerang untuknya. Namun, Mira lebih dulu memberikan senyum pada Aidan seolah membenarkan apa yang ada dalam kepalanya. "Shafira cocok jadi mantu mama," lanjut Mira, mengosongkan isi kepala Aidan yang berisi kalimat istighfar sebanyak tiga kali lebih banyak dari biasanya.

AntagonisOù les histoires vivent. Découvrez maintenant