Pembuka atau penutup

53.9K 3K 53
                                    

*
*
Selamat membaca
*
*

DELA DAN RISSA kompak menghujaniku dengan tatapan khawatir, beruntung Via berhalangan hadir. Entah Via sedang sibuk belajar di perpustakan atau ada kelas tambahan, tapi apa pun alasannya itu aku berterima kasih dia tidak datang. Aku tidak bisa membayangkan tiga orang yang biasa memuji keberanian dan kepercayaan diriku, menyaksikan sisi menyedihkanku. Rasanya pasti lebih menyesakkan daripada saat ini. Aku menghela napas, menarik selimut lebih tinggi sampai di bawah dagu, dan dua sahabatku itu bergerak kompak seolah aku sedang berupaya mematahkan tulangku sendiri. Masing-masing mengulurkan tangan, bersiap menangkap bagian mana pun dari badanku. Saat aku memutar bola mata malas, mereka segera menurunkan tangan.

Apa sih yang mereka khawatirkan sampai seperti itu? Karena aku yang mendiamkan mereka setelah satu jam diantar Bi Nah memasuki kamar ini, atau aduan Bi Nah tentang apa pun yang beliau masak untukku tidak pernah habis.

"Ra, two weeks," kata Dela, yang buru-buru melirik Rissa. Meminta dukungan. Seperti biasa. "You haven't left your room in two weeks, Nora. Lo nggak kuliah, berkeliaran di rumah sendiri aja nggak. Lo stuck di sini."

Baru dua minggu, sahutku dalam hati. Mereka tidak tahu saja aku sedang mencari cara untuk mendekam di kamar ini selamanya. Menjauhi kebisingan. Menikmati kesunyian. Tidak bertemu siapa pun.

Sambil memegangi iPod, Aku melirik Dela dan Rissa bergantian. Dela di ujung kakiku, Rissa di kursi samping ranjang.

"Nora." Dukungan Rissa kepada Dela dikibarkan. Dia mendekatkan kursi, lalu meraih satu tanganku yang sembunyi di balik selimut. "Jarang-jarang nih suami gue mau ambil cuti terus jaga anak di Bandung, supaya gue bisa ke sini. Mumpung lagi di Jakarta, bagaimana kalau kita Jalan-jalan? Taman Anggrek? PIM? Lo maunya ke mana?"

Tahu. Datang ke Jakarta, bertemu aku dan Dela adalah hal langka buat Rissa yang terpaksa menikah dan pindah ke Bandung. Namun, aku tidak mau pergi ke mana pun, dengan siapa pun, aku cuma mau berdiam di kamar—sendirian. Bahkan, aku sedang menimbang menyerahkan kartu ATM ke mereka, meminta Dela menemani Rissa melakukan hal-hal menyenangkan yang sangat jarang Rissa dapatkan setelah menikah. Membebaskan keduanya berbelanja apa saja yang mereka mau tanpa melihat harga, menonton dua atau tiga film di bioskop, menjalani rangkaian perawatan di salon. Apa pun yang mereka mau. Asal bukan di sini, bersamaku.

"Ra, kami khawatir," kata Rissa akhirnya.

Aku pura-pura tidak mendengar, memasang earphone dan memilih-milih lagu di iPod. Lalu cengkeraman tangan Rissa menguat, memaksa aku melihat lagi matanya yang dihiasi lingkaran hitam. Aku tersadar Rissa banyak berubah padahal baru satu tahun menikah; senyumnya tak lagi selebar dulu dan pipinya menirus. Merawat bayi di umur 19 memang melelahkan. Dan aku ingin sekali mengatakan, nggak perlu repot-repor khawatirin gue. Diri sendiri dulu aja. Lo terlihat sama menyedihkannya kayak gue. Namun, tidak aku lakukan.

Tiba-tiba aku merasakan tangan Dela menyentuh kakiku, melakukan pijatan kecil di bawah selimut. "Bukan cuma kami, seluruh penghuni rumah ini khawatir sama lo, Ra." Aku memindahkan mataku ke Dela, dia mengerutkan kening sangat dalam. "Lo, tiba-tiba berhenti melakukan kegiatan. Bahkan, yang dasar aja nggak. Rambut lo lepek banget, badan lo udah kurus makin kurus. Ini bukan Nora Alexander."

Tanpa sadar aku memutar bola mata untuk kedua kalinya, dan Dela memelotot. Dia sangat tidak suka aku melakukan ini. Katanya, aku terlihat semakin menyebalkan.

Dan saat ini, aku hanya mampu melakukan itu.

"Mau cerita?" tanya Rissa, yang jelas berusaha menengahi adu tatapku dan Dela. "Apa aja. Walau kami nggak bisa bantu menyelasaikan hal yang ganggu itu, seenggaknya kami tahu harus apa."

Pergi.

Lagi-lagi, jawaban itu hanya menggema di otakku. Tidak sanggup kukeluarkan karena aku bisa menebak setelah kata pergi akan ada pertanyaan kenapa, dan aku sendiri tidak tahu jawabannya. Aku benar-benar tidak tahu cara mengembalikan keadaan seperti biasanya.

Aku tidak tahu tenaga untuk turun dari ranjang hilang ke mana.

Aku tidak tahu kekuatan untuk menghadapi Papa dan kondisi rumah luruh di mana.

Lalu, rasa sakit tiba-tiba merambati diriku. Berpusat di dada. Bukan karena ada luka fisik di sana. Namun, seperti dadaku membengkak dan siap meledakkan banyak hal yang diam-diam kusembunyikan dari siapa pun termasuk mereka.

"Gue cuma mau lo berdua keluar. Sekarang," pintaku, lalu memasukkan earphone ke kuping. Aku menyalakan lagu secara acak, berharap suara siapa pun yang terdengar di sana bisa membawaku ke suatu tempat dan menyembunyikan aku di sana.

Ke mana pun, asal bukan di sini.

Jauh dari rumah.

Jauh dari kehidupan yang menyebalkan ini.

Aku tidak tahu Dela mengeluarkan rentetan kalimat protes atau setuju pada permintaanku, tetapi Rissa berdiri. Sepertinya, mereka menyerah. Rissa mendekat ke ranjang lalu membungkuk sampai jarak wajah kami tersisa beberapa jengkal. Dia melepaskan salah satu earphone dari telingaku dan berkata, "We love you. You know that, right?"

Kemudian, aku merasakan elusan lembut di kakiku. Dela.

Aku tidak merespon, mereka juga tidak menunggu.

Setelah aku jadi satu-satunya penghuni kamar, aku meringkuk semakin dalam di bawah selimut—mendekap iPod di depan dada—memaksa mataku untuk tertutup. Namun, aku tidak sanggup untuk tidur. Dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, aku turun dari ranjang dan menuju lemari tempel tinggi dan besar di sisi lain kamarku. Aku membuka salah satu dari lima pintu, menggeser baju-baju yang tergantung rapi. Ada kelegaan saat melihat lima botol Wishkey berjajar rapi di balik tumpukan pakaian bermerk yang kubeli secara asal tanpa tahu kapan mau dipakai. Aku mengambil sebotol dengan hati-hati, dan khusus untuk yang satu ini ... aku bersyukur Papa memberiku banyak uang. Aku bisa meminta pengurus rumah yang perlu uang tambahan buat membelikan dan menyelendupkan ini untukku.

Sembil mengelus botol, aku melirik pintu kamar.

Satu dari beberapa alasan aku ingin Dela dan Rissa pergi, bahwa akhir-akhir ini aku lebih membutuhkan alkohol daripada mereka ....

*
*

Seri kedua dari universe-nya Second Hope
Akan update beriringan sama The Tease 💜💜

*
*

Semoga suka
*

Jangan lupa follow ig

Flaradeviana
Atau
Coretanflara

Second HopeWhere stories live. Discover now