10

11K 2.2K 109
                                    

Selamat membaca


Jangan lupa taburan bintang dan komennya


SETAHUN LEBIH empat bulan nomor lelaki yang kutemui saat mabuk tersimpan di ponsel. Dua kali aku berganti ponsel, nomor itu selalu ikut dipindahkan. Setiap momen pemindahan, selalu ada satu pertanyaan muncul dalam benakku: Kalau penasaran banget, kenapa nggak coba dihubungi sih? Tetapi ketakutan selalu berhasil meredam keingintahuanku tentang kejadian malam itu, pada alasan kenapa dia membawaku ke hotel tanpa melakukan hal-hal yang biasa dilakukan saat aku terpengaruh alkohol—seks. Bahkan, dia membayar tagihan hotel.

Karena tergolong kejadian langka, aku bertekad menyimpan untuk diriku sendiri. Selamanya. Memilih memercayai alasan demi alasan ciptaanku, daripada nekat menelepon dan ternyata dia meninggalkan nomor demi maksud lain.

Aku tidak mau rasa kagum padanya hilang. Begini saja. Cukup.

Sayangnya, siapa pun yang mengendalikan kehidupan menganggap rencanaku tidak seru sama sekali. Sengaja mengirim lelaki itu ke Helio, satu proyek denganku pula.

Benar-benar menyebalkan.

"Nora, are you still there?"

Nora ilang. Tentu saja cuma dalam hati.

Sejak disuguhkan kenyataan bahwa si arsitek baru adalah cowok malam itu, jiwaku melarikan diri entah ke mana dan desiran darah yang kencang menenggelamkan kata-kata di sekelilingku. Dari langit terang ke gelap, aku sibuk memaksa diri sendiri menerima kenyataan bahwa lelaki yang berhasil membuatku kagum dalam semalam sedang bersamaku saat ini. Aku duduk dua jam di ruang makan mewah bergaya mediterania milik Om Djoko, tanpa benar-benar berada di sana.

"Nora ...."

Aku menghempaskan kedua tangan ke pangkuan, lalu menoleh ke dia.

Dengan garis-garis kegelisahaan samar yang menghiasi wajah, dia menyusulku setelah lampu merah memberi kesempatan. Beberapa kali bibirnya terbuka lalu menutup, seakan kata demi kata hanya mau berjalan sampai di ujung lidahnya. Lucu sekali. Padahal sejak menyusulku ke rooftop dia tidak pernah kesulitan bicara denganku, bahkan di situsi yang biasanya orang-orang memilih menunduk dan diam—dia tetap bicara padaku dan tersenyum lebar. Hmm. Haruskah aku bertaruh dengan diriku sendiri? Kalaupun malam itu kondisi kami sama-sama mabuk berat sampai nggak sanggup melakukan kegiatan ranjang, dia bangun lebih dulu dan melihat jelas wajahku. Setahun terakhir tidak ada perubahan besar pada fisikku, kecuali warna rambut. Seharusnya—aku mengembuskan napas lambat-lambat. Bagaimana jika dia sudah melupakan hari itu dan alasan dia bersikap ramah kepadaku cuma untuk kelancaran proyek saja? Jangan-jangan ada orang lain yang memakai nomor dan namanya—duh!

"Nora, gue mulai takut nih. Lo sakit?"

"Mau ke HolyWings?" Alih-alih menjawab, aku mengajukan pertanyaan. Dia mengatupkan birir, tatapannya menajam seolah aku mengajaknya merampok. "Besok kita janjian sama rombongan Om Djoko di Lembang jam dua siang. Santai sebelum perang, nggak masalah kan? Lagi pula, gue udah dandan kayak gini—kalau langsung balik hotel berasa sia-sia." Aku duduk miring, membiarkan dia menilai sendiri betapa keras usahaku. "Biasanya ada acara selain makan malam."

Satu kekonyolan lain resmi aku lakukan. Setelah berdandan habis-habisan seolah mau pergi kencan sampai betekad menampilkan kesan elegan sekaligus seksi, kini aku membuat Om Djoko terlihat selalu menyuguhkan kesenangan ke partner bisnis. Padahal beliau nggak pernah melakukannya, selalu makan malam atau makan siang. Demi menutupi betapa berlebihannya sling waist jumpsuit rose gold yang kupakai, serta rambut yang aku bentuk low bun—aku mengatakan itu.

"Mau santai, kan? Silakan dipilih, mumpung kita lewatin banyak kafe," katanya, sembari melambatkan mobil menelusuri barisan kafe di sepanjang jalan Dago Atas.

Second HopeWhere stories live. Discover now