3

14.5K 2.5K 108
                                    

*
*

Selamat membaca

*
*

AKU PULANG lewat dari tengah malam. Satpam yang membuka pintu gerbang memasang wajah lega, seolah akan ada hal buruk yang terjadi padanya kalau aku tidak pulang. Saat aku bersiap memasukkan kunci ke lubang, pintu utama rumah dua lantai seluas 484m2 itu sudah lebih dulu terbuka.

Wajah khawatir Bik Dwi menyambutku, dibumbui bisikan, "Ya ampun, Non." Beliau menutup pintu untukku, tetapi satu tangan yang lain menahanku—seolah bersiap melindungiku dari hal mengerikan.

"Bibik tidur di situ?" Aku melirik kursi panjang dari kayu jati, yang pasti tidak nyaman dibuat tidur.

Sambil mengelus lenganku, Bik Dwi menghela napas pelan. Kebiasaan beliau sejak pertama kali bekerja di sini, saat aku kelas 3 SD. Artinya; jangan pikirkan Bibik. Karena aku yang sedang ditunggu masalah, bukan Bik Dwi. Biasanya sih elusan ini diberikan sebelum aku dimarahi habis-habisan.

Sepertinya malam ini aku memang akan menghadapi itu. Omelan.

"Bapak marah, Non," bisik Bik Dwi.

Aku tidak terkejut, tetapi Bik Dwi terlihat menahan isakan.

Selain elusan, Bik Dwi juga sering menangis untukku.

Saat aku dibentak Papa, dihajar Mama.

Ketika aku beberapa kali mengurung dan menyiksa diri sendiri setelah Papa memasukkan selingkuhannya ke rumah ini.

Aku merangkul Bik Dwi. "Istirahat, Bik. Terima kasih udah nungguin aku pulang."

Dari cara Bik Dwi mempertahankan genggaman, menunjukkan beliau sudah membulatkan tekad tidak mau membiarkan aku memasuki rumah dan menghadapi apa pun di dalam sana seorang diri. Aku tersanjung, tetapi hari ini aku tidak berminat memanjangkan daftar momen Bik Dwi menangis untukku.

"Bik, kapan sih Papa nggak marah sama aku?"

Papa selalu marah sejak aku umur sembilan, mengometari setiap tindak-tandukku, menganggap Mama tidak becus mengurus satu anak, lalu Mama juga marah dan memukulku.

Satu rumah ini selalu marah padaku.

"Beda, Non. Hari ini ulang tahun pernikahan—"

"Bik, aku udah terlalu sering menghadapi omelan Papa. Ngerasain sekali lagi omelan Papa, nggak masalah buat aku." Aku mengeratkan rangkulan ke bahu Bik Dwi, lalu menggiring perempuan berusia 45 itu menuju lorong penghubung rumah utama dan bagunan seperti kos delapan pintu untuk para pekerja.

Meski berat, Bik Dwi menurut. "Sabar," kata Bik Dwi, sebelum melepaskan tanganku.

Aku menunggu sampai Bik Dwi menghilang di ujung lorong, baru menyeret paksa kakiku melewati ruang tamu menuju tangga melingkar yang berfungsi sebagai pembatas ruang tamu dan ruang keluarga.

Kemurkaan pekat yang memenuhi ruang keluarga meyambut kehadiranku, tetapi seperti yang sudah-sudah—aku mengabaikannya. Saking akrabnya aku sama situasi itu sampai rasa takut pun mati. Aku pura-pura tidak melihat bahwa ada dua orang sedang duduk di sofa depan televisi. Aku menaikki satu demi satu anak tangga, bernyanyi Naik-Naik Ke Puncak Gunung keras-keras dalam hati, sampai di anak tangga ke lima suara pecahan kaca memaksa nyanyian dan kakiku berhenti.

Dengan gerakan malas, aku melirik sumber suara. Wah. Vas mahal yang dipecahkan. Seingatku orang di samping Papa baru membeli barang itu tiga minggu lalu. Aku melirik perempuan yang usianya tidak beda jauh dari Bik Dwi, entah lebih tua atau muda, aku tidak pernah peduli. Yang pasti lebih muda dari Papa belasan tahun.

Second HopeWhere stories live. Discover now