2

18.7K 2.5K 67
                                    

*

*

Selamat membaca

**

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, gaes.

*

*


Setelah satu helaan napas kasar, aku duduk di bagian yang tertutup kanopi kayu. Ditemani angin yang tidak terlalu kencang dan langit Jakarta yang tidak terik, menghisap satu demi satu batang nikotin tanpa merasakan apa pun, tanpa memikirkan apa pun. Seperti mengambang di ruang tanpa gravitasi. Kemudian, aku tersentak mendengar pintu yang tertabrak tembok.

Satu sisi bibirku secara otomatis tertarik ke atas. Tumben sekali ada yang berani datang, batinku.

Ini fasilitas umum. Siapa pun pekerja yang ingin naik, beristirahat, dipersilakan. Namun, ada kebiasaan yang tercipta sejak aku mengusir beberapa orang dari sini. Hanya terjadi sekali, itu pun karena aku terlalu emosi setelah adu mulut pertamaku dengan Arka. Seperti hari ini, aku naik untuk menyendiri. Dan saat menemukan ada beberapa orang sedang mengobrol dan tertawa, aku semakin marah dan mengusir mereka. Setelah kejadian itu tidak ada yang berani naik saat aku ada di sini. Seperti semua penghuni dua ruko yang dijadikan satu ini memiliki group pesan singkat rahasia tanpa aku, yang melihatku naik akan memberi kabar; penyihir ada di atas.

Aku menoleh, melihat orang yang duduk sekitar satu meter di sisi kananku sambil memangku laptop, membuatku sedikit mewajarkan nyalinya naik ke sini. Mungkin, dia belum mendengar cerita tentang penyihir dari Helio Architeam. Tentang aku.

"Hei," sapanya, dengan suara lebih redah satu oktaf dari banyak lelaki yang kukenal.

Keningku mengerut, lalu aku mengedarkan pandangan seolah mencari siapa yang dia sapa.

"Cuma ada kita," katanya lagi, dengan nada jenaka dan ramah. "Jadi, hai tadi buat lo."

Aku kembali menatapnya dan tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikan apa yang dimiliki orang ini. Cukup rapi dan terawat. Kulitnya tidak terlalu putih tetapi juga tidak terlalu gelap. Rahangnya berpotongan lebar dan tegas, tetapi bagian matanya kecil. Dia juga memiliki lesung pipi yang menambah kesan 'tampan dan menyenangkan'. Kemeja linen beige berlengan pendek yang dia pakai memamerkan bahu lebar dan bisep yang hebat.  Dari caranya memadukan kemeja, dengan chino hitam serta sneakers putih, sepertinya dia cukup melek tentang penampilan.

"Tadi kita papasan di bawah," ucapnya lambat-lambat, seolah menanti reaksiku. "Gue bareng Arka."

Sayangnya, aku tidak mau memberikan yang dia mau.

Aku meluruskan duduk serta pandangan ke langit, bersikap seperti di sampingku tidak ada dia.  Si arsitek baru, yang namanya tidak aku ingat.

"Kita satu kantor, tapi jarang ketemu." Ah, nada itu. Nada sok ramah yang biasa dipakai orang-orang saat menginginkan sesuatu dariku. Uang. Koneksi ke orang-orang penting. Sejenis itu. "Sebelum gue resmi kerja di sini, Arka sering banget cerita tentang lo dan desain-desain lo."

Aku memutar bola mataku, lalu mematikan rokok ketiga yang baru kuhisap setengah dengan kasar. Sumpah. Aku sudah puluhan kali mendengar susunan kalimat berbeda, tetapi tujuan dan nadanya sama seperti dia. Dikeluarkannya pun oleh orang yang baru beberapa hari masuk ke kantor ini. Aku muak. Karena tidak mau mendengar kalimat lanjutan yang mengisyaratkan; semoga kita bisa satu proyek. Aku berdiri dan menjauh begitu saja.

Seharusnya, setelah ini dia tidak berani mengupayakan keramahan palsu kepadaku.

Sebelum pintu tertutup aku mendengar dia berteriak atusias, "See you, Nora!"

Second HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang