9

10.6K 2K 87
                                    

SELAMAT MEMBACA


Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Gaes.

Aku memasrahkan urusan perut kepada dia. Belajar dari pengalaman berpergian sebelumnya, repot-repot mencari rekomendasi makanan enak di Bandung, berdebat memilih tempat, ujung-ujungnya makanan Sunda lagi.

Eh, dia malah memilih makanan berkuah. Bakso.

Aduh.

Aku tidak suka bakso, tetapi melihat dia semangat mematikan mesin—ditambah ekspresi kelaparan seperti belum makan seminggu—membuat semua kalimat protesku tertelan bulat-bulat.

Dia lebih dulu turun, sementara aku mengobrak-abrik tas seolah mencari barang demi bisa mengumpat tanpa didengar. Tahu begini, sedari keluar tol aku langsung menyebut Nasi Bancakan saja. Walau bosan selalu kembali ke tempat yang sama di hari pertama, setidaknya aku bisa makan tanpa tersiksa.

Menyebalkan.

Aku belum berhasil meredakan kejengkelan, pintu bagiannya tiba-tiba terbuka lagi. "Any problem, Nora?"

Aku menggeleng, sembari menggoyangkan kotak rokok dan korek gas di udara. Sudahlah, Ra. Kepalang basah. "Duduk di depan aja. Gue mau ngerokok."

Tidak menunggu persetujuan darinya, aku lompat dari mobil dan berjalan cepat ke sisi kiri lalu duduk di bagian terdepan. Berhadapan sama beberapa mobil yang berjajar rapi membentuk garis lurus, yang dibatasi sederet tanaman hijau rimbun. Dia melewati meja yang kupilih, memasuki area dalam yang bagiku terlihat seperti tempat sauna; asap dari gerobak bakso menyebar di langit-langit, sementara pengunjung yang memenuhi sepuluh meja di dalam sana berlomba menciptakan suara.

Tidak butuh waktu lama, dia kembali sembari membawa kertas pesanan dan pensil.

"Bakso kosongan. Setengah. Nggak pakai seledri," kataku, sesaat setelah dia duduk. "Oh ya, minum air mineral. Jangan dingin."

Dia menatapku dengan ekspresi tidak terbaca. Entah karena aku memesan tanpa melihat menu yang dia sodorkan, atau caraku bicara terlalu mengesalkan.  Mau bagaimana lagi, walaupun aku tidak sampai hati memintanya memilih tempat makan lain—aku tetap sebal terjebak di sini.

"Setengah porsi itu dikit banget. Pesan satu aja. Nanti kalau emang nggak habis, kenyang, kasih gue," katanya.

Tanpa berpikir dua kali, aku menolak ide itu. Astaga.  Makan setengah saja belum tentu lancar, apalagi semangkuk terisi penuh. Sadar dia masih ingin memanjangkan masalah pesanan, aku tergesa menghidupkan rokok lalu menunduk ke ponsel. Dalam hitungan detik, aku sudah terbawa arus pekerjaan di Jakarta.

Aku melakukan video call untuk memantau pemasangan walk in closet di apartemen, lalu berpindah kepada anggota lain yang kebagian tugas memeriksa pengerjaan furnitur di bengkel. Setelah memastikan keadaan di bengkel aman, aku beralih pada dua anggota yang bertahan di kantor. Mencari tahu sudah sejauh mana revisi mereka, termasuk si anak baru. Beres melakukan tiga panggilan, aku mengedarkan mata ke setiap sudut area luar. Ada untungnya juga aku memilih duduk di sini. Tidak popular. Ada empat meja, cuma satu yang terisi. Memberi kesempatan bekerja tanpa khawatir suaraku beradu atau mengganggu pengunjung lain.

Tak sengaja mataku bertemu matanya. Dia duduk santai sembari bersedekap di depanku tanpa melakukan apa pun, ponselnya dalam keadaan gelap dan masih berada di posisi awal—di bawah kunci mobil. Sesuatu yang aneh menjalar dalam diriku seolah situasi ini pernah terjadi; dia diam-diam memperhatikanku. Sepertinya kegerahan membuat otak cedera. Aku menghisap rokok dalam-dalam, lalu menunduk lagi pada layar ponsel. Membuka pesan singkat yang tertumpuk sejak semalam. Belum berhasil membaca satu pun, apa yang ditaruh pramusaji di seberang sana menarik pandanganku kembali ke arahnya.

Second HopeWhere stories live. Discover now