Gara-gara Mbak Ratna

8 0 0
                                    

"Ya Allah, Husna! Yang payahan kalilah kau dibanguni. Itulah kau, kan, tidur sampai malam-malam. Entah apa aja yang kau kerjakan," omel Mbak Ratna yang masuk ke kamar tanpa aba-aba.

Aku yang hampir tidur lagi, mendadak sakit kepala dengar omelan Mbak Ratna.

Semenjak salat Subuh di masjid kompleks, Mbak Ratna tuh setiap hari punya hobi baru. Mbak Ratna jadi suka ceramah yang bikin sakit kepala. Usut punya usut aku baru tahu kalau Mbak Ratna setiap hari mengikuti pengajian di masjid komplek, yang kata Mbak Ratna dilakukan setelah salat Subuh.

Penceramahnya ustaz Zakariya yang sudah terkenal di kompleks perumahan dan satu Kecamatan Medan Sunggal ini. Aku sih nggak masalah Mbak Ratna mau mengaji atau dengar ceramah. Tapi, jangan tumbalkan akulah untuk jadi pendengarnya juga.

"Astaga! Bisa nggak, sih, Mbak sehari aja nggak ceramah? Masih pagi lho ini. Sebentar lagi, ya? Lima menit lagi. Sepuluh menit, lah. Sepuluh menit lagi aku janji bakal bangun sendiri." Aku memohon ke Mbak Ratna sambil menangkupkan kedua tangan di atas kepala.

"Nggak ada itu. Janji anggota dewan ajanya kau," bentak Mbak Ratna yang dengan kejamnya langsung menyeret kedua tanganku menuju kamar mandi.

Sumpah, ya! Dari dulu aku malas sekali sekolah. Entah berapa kali aku memohon ke Mbak Ratna supaya pindah sekolah ke tempat Dipta saja, biar ada yang bikin aku semangat sekolah. Tapi, jawaban Mbak Ratna benar-benar bikin sakit kepala.

"Kau mau kawin apa mau sekolah?"

Mau kawin, Mbak, tapi sama Dipta ya? Pengin rasanya kujawab begitu. Kalau saja nggak ingat keluarga yang kupunya cuma Mbak Ratna, aku pasti bisa leluasa melawan sama dia.

"Ya Allah, Husna! Kok pakai baju sekolah yang ini?" teriak Mbak Ratna yang tiba-tiba balik ke kamarku lagi saat aku sudah selesai mandi.

"Baju yang itu nggak enak, Mbak. Kebesaran," sahutku yang sedang sibuk memasang kancing baju.

"Pande kali mulutmu itu. Terus kalau yang itu kekecilan nggak apa-apa, gitu?" omel Mbak Ratna sambil menarik-narik baju yang kancingnya sudah kupasang setengah. "Ganti!" seru Mbak Ratna memaksa.

Sumpah! Pengin banget rasanya aku kabur dari rumah. Atau ikutan mati saja sekalian sama ibu dan bapak. Buat apa coba hidup tapi diatur-atur terus? Ini nggak boleh, itu nggak boleh, semua nggak boleh. Terus aku bolehnya apa? Menyebalkan sekali Mbak Ratna.

"Malu lho, Mbak, pakai baju kebesaran begitu. Bisa dikira ibu-ibu anak lima nanti aku," protesku ke Mbak Ratna.

Aku mendengar Mbak Ratna berdecak.

"Terus kalau pakai baju ketat begini nggak malu? Ini aurat. Ini juga. Ini apa lagi." Mbak Ratna menunjuk-nunjuk beberapa bagian tubuhku.

Aurat itu yang jadi bahan buat bakso, kan? Aku sering lihat tulisannya di pinggir jalan: bakso aurat. Terus hubungannya sama aku apa?

"Kenapa kau melotot gitu?" tanya Mbak Ratna yang sepertinya mulai sadar dengan kegeramanku.

"Mbak tuh aneh! Apa hubungannya bakso aurat sama aku?"

"URAT, Husna! U-rat! Beda sama aurat. Yang kau bilang itu bakso urat, bukan aurat. Itulah kau, kan, akibat malas kali sekolah. Bedakan urat sama aurat pun nggak bisa."

"Mbak biasa ajalah, jangan marah-marah. Mentang-mentang udah ngaji langsung jadi ustazah setiap hari."

"Astagfirullah, Husna ... Husna ...." Mbak Ratna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ceramah itu bukan cuma tugasnya ustazah. Lagian kau kalau bukan Mbak yang menceramahi, siapa lagi? Kau enggak tahu, kan, kalau di akhirat nanti ada orang yang nggak bisa mencium baunya surga? Udah kayak orang kena covid rasanya nggak bisa nyium bau apa-apa. Tahu nggak kau?"

Ketika Dipta KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang