Tanda Bahaya

0 0 0
                                    

Mbak Ratna bolak-balik ke dapur dari tadi. Demi mencari aman, aku berusaha menahan diri supaya nggak menyulut api.

"Apa, sih, Mbak?" tanyaku ketika Mbak Ratna menempelkan tangannya di keningku.

"Sehat?" sahutnya. "Kok tumben? Nggak lagi buang sial, kan? Mana tahu, menuju empat puluh hari," cecarnya dengan tangan melipat di dada.

Tenang, Na. Tetap tenang. Ini ujian. Aku melebarkan senyuman, tak mau termakan godaan setan.

"Beresin rumah begini bukan karena ada udang di balik bakso, kan?" Mbak Ratna masih berusaha menggoda.

Bakwan, Mbak! Sejak kapan ada udang di balik bakso? Benar-benar, Mbak Ratna, ya?!

"Nggak lah, Mbak. Aku ikhlas kok bantuin Mbak Ratna," ujarku sembari menata piring di rak kaca.

"Ehm! Tumben. Biasanya, kan-" Mbak Ratna menjeda karena Mas Galih memanggil di teras rumah. "Ya, Mas," sahutnya, beranjak ke depan rumah.

Aku bernapas lega. Setidaknya imanku tetap terjaga kalau berjauhan dari Mbak Ratna.

***

"Pulangnya nggak boleh malam-malam, lho!" titah ayunda tercinta, yang langsung kuaminkan dengan anggukan kepala. "Yakin nggak diantar saja sama Mas Galih? Sayang uangnya buat bayar becak." Mbak Ratna masih belum mengakhiri petuahnya.

"Takut merepotkan Mas Galih, Mbak, nanti. Lagian rumah Indah dekat. Nggak apa-apa Husna naik becak saja," kataku sembari beringsut dan segera menyalami Mbak Ratna.

Mas Galih sedang istirahat di ruang tengah. Mungkin itu juga yang membuat Mbak Ratna akhirnya menyerah.

Aku menoleh ke belakang, sebelum akhirnya berbelok di ujung gang. Mbak Ratna masih berdiri di halaman rumah, seakan belum rela membiarkanku pergi begitu saja.

Bodoh amat lah, Mbak Ratna! Ke rumah Indah sebagai alasan, ternyata bisa memperdaya seorang Mbak Ratna Sang Ratu Kegelapan.

Aku tiba di depan gang rumah yang berada di jalan raya. Cowok berambut pirang itu sedang berdiri menyandar di sepeda motor Ninja berwarna black metallic miliknya.

"Hai!" sapanya begitu aku tiba di hadapan.

"Sudah lama?"

"Nggak."

Syukur lah. Aku bernapas lega.

Dipta mengulum senyum. Mata hitamnya menatap lekat ke arahku. "Nggak salah lagi," katanya, membuatku melayangkan cubitan di lengan.

"Nakal, ya?!"

"Ampun, Bu Guru!" teriak Dipta, membuat beberapa pengendara spontan menatap penuh tanda tanya. Beberapa pengendara wanita bahkan ada yang membuang muka, sambil mulutnya berbicara entah apa.

Memangnya wanita itu kenapa? Nggak suka? Pindah sana ke Mars, temanan sama gunung berapi.

"Kita ke mana?" tanya Dipta begitu motornya bergerak, membelah jalan raya.

"Terserah!"

"Makan sate?" 

"Nggak mau," sahutku.

Dipta menggelengkan kepala. "Tadi katanya terserah?"

"Ya jangan makan sate juga," sahutku tak terima.

"Ke Sei Kambing, ya?"

"Dari kemarin mengajak ke sana terus. Ada apa rupanya di sana?"

Dipta melepas tangan kiri dari setang kemudi. Tangan kirinya kemudian memegang tanganku lalu menempelkan ke bibirnya, mengecupnya cukup lama, sampai akhirnya kulayangkan cubitan di lengan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ketika Dipta KembaliWhere stories live. Discover now