Malam Kamis Manis

1 0 0
                                    

Aku mengamati berbagai macam oleh-oleh yang dibawakan Mas Galih di meja. Mas Galih bekerja di pelayaran, pulangnya nggak tentu kapan. Pernah sampai lebih empat bulan Mas Galih nggak pulang. Yang paling membuatku kagum dengan Mas Galih dan Mbak Ratna adalah mereka tetap harmonis meski sudah bertahun-tahun menikah tapi belum juga Allah beri buah hati.

"Mbak sama Mas mau pergi jalan-jalan. Kamu jaga rumah ya, Na. Jangan keluyuran ke mana-mana. Mbak mungkin pulangnya tengah malam karena ada janji sama teman Mas Galih. Nanti tidur aja ndak usah nungguin Mbak," kata Mbak Ratna yang sudah berdandan rapi. 

Aku mengamati baju gamis berwarna ungu dengan motif polkadot berukuran kecil berwarna putih bikin badan Mbak Ratna kelihatan lebih langsing. Kerudung pasmina berwarna putih yang dikenakan Mbak Ratna juga bikin wajahnya kelihatan lebih muda.

"Kenapa kamu kok senyum-senyum begitu?" tanya Mbak Ratna menghentikan gerakan tangannya yang sedang memakai kaus kaki.

"Mbak cantik!" tukasku sambil mengacungkan ibu jari.

Mbak Ratna mengulum senyum. "Gombal! Pasti ada maunya ini," kata Mbak Ratna menghakimi.

Terserah lah, Mbak! Terserah! Ngomong cantik doang sudah dicurigai yang bukan-bukan.

"Na ... ini buat uang jajan, ya," Mas Galih keluar dari kamar dan menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah ke arahku.

"Yang terakhir Mas kasih masih ada kok, Mas," sahutku dengan senyum malu-malu.

Walaupun jumlah uang pemberian Mas Galih yang tersisa nggak banyak, tapi cukuplah untuk beli bakso lima kali. Aku menolak sebenarnya karena malu sama Mas Galih. Ya ... meski pun ke Mbak Ratna seringnya aku malu-maluin. Tapi kalau ke Mas Galih, aku mana berani. Gimana pun Mas Galih juga punya adik. Aku tahu diri jugalah. Kadang-kadang lebih sering lupa diri, sih, sebenarnya.

Lagian, Dipta juga sering kasih aku uang. Padahal aku nggak pernah minta-minta ke Dipta. Yang paling aku minta banget sama Dipta cuma satu, kami menikah begitu tamat SMA.

"Gaya kali si Husna!" cerocos Mbak Ratna. "Kalau kamu ndak mau, buat Mbak aja," katanya, sembari memasang kuda-kuda, bersiap mengambil uang di tangan Mas Galih.

"Makasih ya, Mas," kataku setelah berhasil mendahului Mbak Ratna. Mbak Ratna mencebik. Aku menjulurkan lidah sebagai perlawanan. Mas Galih yang melihat kami saling mengejek jadi tertawa. Kalau uangnya buat Mbak Ratna, aku nggak rela!

Seandainya nggak ada Mas Galih, mungkin sekarang aku sudah mendapat hadiah cubitan mematikannya Mbak Ratna karena berhasil mengalahkan dia. Tapi ya itu, di depan Mas Galih Mbak Ratna pura-pura mati kutu.

"Jangan lupa mandi," kata Mbak Ratna keluar dari kamar.

Aku yang masih makan Coklat Rocklate oleh-oleh Mas Galih langsung melirik ke jam dinding di sebelah TV. Masih jam setengah lima, kurang kerjaan Mbak Ratna menyuruh aku mandi jam segini.

Demi menjaga suasana pasca gencatan senjata dengan Mbak Ratna tetap kondusif, aku memilih untuk merespon pasif.

Setelah memberi wajangan sepanjang jalan kenangan, akhirnya Mbak Ratna dan Mas Galih pergi. Aku bisa leluasa teleponan sama Dipta sekarang. Astaga! Aku lupa. Nomor Dipta, kan, nggak bisa kutelepon dari tadi. Dipta benar-benar mencurigakan sekali.

***

Aku bernyanyi mengikuti Jefri yang bermain gitar membawakan lagu 'orang yang sama' milik Virgoun. Rumah Jefri yang berada di sebelah rumahku, membuat petikan gitar dan suara nyanyiannya terdengar jelas sampai ke kamar.

Suara azan di HP-ku berkumandang  keras. Dari masjid kompleks suara azan salat Isya juga mulai dikumandangkan. Suara nyanyian Jefri perlahan berhenti. 

Ketika Dipta KembaliWhere stories live. Discover now