Dipta Amnesia

3 0 0
                                    

Entah berapa kali aku ketik hapus pesan balasan untuk Dipta. Bingung harus gimana karena Dipta WA cuma tanya aku lagi apa?

Nggak usah heran sama tingkah Dipta. Kalau berbuat salah, Dipta nggak akan merasa salah. Lihat saja! Kalau aku nggak membalas pesannya, dia juga bakalan anteng seperti nggak ada masalah.

Dari dulu Dipta memang begitu, sudah setelan dari pabrik kayaknya. Yang paling berubah dari Dipta belakangan cuma cara dia memberi perhatian. 

Kalau dulu Dipta hampir nggak pernah absen antar jemput aku sekolah. Tepat waktu malah. Ojek online sih jauh banget bedanya sama Dipta. 

Tapi sekarang, entahlah. Panggilan teleponku saja jarang sekali diangkatnya. Itu kenapa kemarin pagi aku marah besar dan nggak peduli dia teriak-teriak manggil aku. Begitu pun Dipta masih tetap bertingkah biasa saja dan nggak ada inisiatifnya. Apa aku putus saja sama Dipta, ya? Biar Dipta tahu rasa.

"Kebiasaan!" seru Mbak Ratna yang tiba-tiba muncul di ruang tengah.

"Apa, sih, Mbak? Bikin kaget aja," sahutku mengelus dada.

"Kau mau saudaraan sama setan?" tanya Mbak Ratna sambil mengangkat piringku yang tergeletak di meja. "Habiskan!" perintah Mbak Ratna menyodorkan piring yang masih ada nasi dan ikan Nila sambalnya.

"Aku nggak selera makan, Mbak," kataku. Gimana mau selera makan coba kalau yang bikin semangat hidup malah bikin redup begini?

Mbak Ratna meletakkan kembali piringku ke meja. Perasaanku mendadak nggak karuan saat Mbak Ratna ikut duduk di tikar bersamaku. Sebelum Mbak Ratna buka mulut aku bisa menebak dia mau bilang apa.

"Makan ndak dihabiskan begini mubazir namanya! Pem-bo-ro-san!"

Tuh, kan! Kubilang juga apa? Mbak Ratna sudah mulai mukadimah. 

Kurebahkan badan di tikar tanpa alas kepala. Kepalaku mendadak pusing sekarang. Harusnya aku tahu diri kalau aku cuma menumpang di rumah Mbak Ratna, nggak boleh sembarangan buang-buang makanan. Kalau sudah begini, habislah aku dibantai berjilid-jilid ceramah.

"Kau jangan salah paham sama Mbak, Na. Mbak ikhlas merawat dan menjaga karena itu udah kewajiban Mbak menggantikan tugasnya ibu dan bapak. Mbak cuma ndak suka kalau kau buang-buang makanan. Ustaz Zakariya bilang--" Kepalaku semakin sakit waktu Mbak Ratna ngomong begitu.

"Orang yang suka membuang makanan begini jadi saudaranya setan. Kalau nggak percaya, coba kau cari di Al-Qur'an surah Al-Isra. Mbak lupa itu ayat berapa," terang Mbak Ratna yang terdengar sudah akan mengakhiri isi ceramahnya. 

Aku menganggukkan kepala saat Mbak Ratna melihat ke arahku. "Nanti aku baca, Mbak," sahutku cepat. "Nanti waktu aku dapat hidayah ya, Mbak," gumamku pelan, dan langsung dibalas kontan sama Mbak Ratna.

"Aduh!" kupegang pinggangku yang baru saja terkena cubitan mematikan Mbak Ratna.

"Hidayah dijemput, Na, jangan ditunggu! Besok pagi ikut Mbak salat Subuh di masjid, biar setan di badanmu terbirit-birit," kata Mbak Ratna yang bangkit dan meninggalkanku tanpa beban.

Ya ampun, Mbak! Nggak bisa diajak bercanda.

Kuangkat sedikit baju kaos lengan pendek yang kukenakan. Warna merah tercetak jelas di pinggangku. Kejam kamu, Mbak!

Baca Al-Qur'an itu susah. Bukan karena aku nggak bisa baca. Jangan lihat aku dari luar saja ya. Biar bandal begini, aku dulu pernah hafal Al-Qur'an satu juz. Berkat bantuan ibu dan bapak yang mengajariku mengaji setelah salat Subuh dan Magrib. 

Semenjak ibu dan bapak meninggal karena kecelakaan, aku diasuh sama Mbak Ratna. Waktu itu aku sudah kelas dua SMP. 

Mbak Ratna tetap melanjutkan peran ibu dan bapak mengulang-ulang hafalan Al-Qur'anku. Tapi entah kenapa, setelah aku pacaran dengan Dipta, konsentrasiku untuk menambah  hafalan justru berkurang. Jangankan menambah, mengulang hafalan pun terkadang aku kesulitan.

***

"Sayang lagi marah ya? Aku ke rumah, ya? Yang ...."

"Berisik!" tukasku yang langsung disambut tawa Dipta di seberang telepon.

"Kenapa? Lagi kangen ya? Sama. Aku juga."

"Berisik. Berisik. Berisik." Aku setengah berteriak. Untung Mbak Ratna lagi nggak di rumah, aku jadi bisa leluasa memarahi Dipta.

"Lagi dapat bulan ya?"

"Dapat gerhana!" tukasku murka.

Suara tawa Dipta yang begitu renyah hampir membuatku tergoda mengikutinya. Nggak. Aku nggak boleh ikut-ikut tertawa. Bisa besar kepala nanti Dipta.

"Malam minggu kita ke mana?" tanya Dipta yang masih belum menunjukkan iktikad baiknya.

"Perasaan ada yang lagi buat salah tapi pura-pura lupa. Siapa, ya?" tanyaku menyindirnya.

"Kita ke kafe yang baru buka di Sei Sikambing aja gimana?" sahut Dipta masih pakai jurus pura-pura amnesianya.

"Udah dululah ya. Males banget ngomong sama orang yang amnesia. Dah ...." Tanpa mengucapkan salam aku langsung menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan.

Layar HP-ku berpendar. Panggilan telepon dari Dipta. Aku merebahkan diri ke tempat tidur. HP-ku bergetar lagi, itu pasti panggilan dari Dipta. Ah, sudah lah!

Ingatanku tiba-tiba berputar pada ucapan Indah beberapa hari lalu yang untuk pertama kali melihat Dipta mengantarku ke sekolah. Waktu kelas sepuluh, Mbak Ratna yang rutin mengantar dan menjemput. Baru ketika kelas sebelas ini aku dibolehkan Mbak Ratna pergi naik angkutan umum ke sekolah. Naik angkutan bohong, sih, judulnya. Soalnya aku ke sekolah naik angkutan pribadi alias dibonceng pujaan hati.

Indah bilang, "Cowokmu ganteng kali, Na. Kulitnya putih bersih mirip artis Korea. Pangkasan rambutnya itu, lho, mirip kali sama pemain film Crash Landing On You. Siapa namanya? Ah iya! Hyun Bin."

Hyun Bin, sih, perhatian banget sama Son Ye Jin. Lah, Dipta? Kelakuannya belakangan ini malah kayak jin: menghilang tiba-tiba tanpa kabar berita.

Banyak yang bilang aku dan Dipta serasi. Dipta ganteng dan aku cantik. Nyatanya, banyak hal dari sifat kami yang justru berkebalikan. Salah satunya ini, aku lebih suka menyelesaikan masalah dan Dipta lari dari masalah. Apa iya kami masih bisa dibilang serasi kalau begini?

{Angkat, Yang} Pesan dari Dipta.

Aku sengaja membaca pesan dan nggak menjawab panggilan teleponnya. Dipta pasti makin penasaran. Cara seperti ini biasanya ampuh untuk bikin Dipta cepat luluh. Cowok itu kan suka tantangan. Jadi kalau mereka dipermainkan begini jiwanya bakal berontak dan melakukan berbagai cara untuk memenangkan.

{Maafin aku, Yang}

Aku tersenyum membaca pesan dari Dipta. Benaran ampuh, kan?

Kuangkat panggilan telepon dari Dipta.

"Kita jadi ke Sei Sikambingnya, kan?" tanya Dipta begitu panggilan terhubung.

"Dipta! Kumatikan lagi, ya?!" ancamku dengan suara tinggi.

"Kok nggak dewasa?" Kali ini Dipta berusaha menggodaku. Itu kebiasaanya setiap kali aku marah. Benar-benar dikasih hati minta ginjal ini Dipta.

"Yang nggak dewasa itu siapa, coba? Tinggal minta maaf langsung apa susahnya, sih, Dipta bin Sugimin?" kataku yang langsung dibalas tawa oleh Dipta.

"Terus?"

"Terus apanya?" tanyaku yang bingung harus meneruskan apa.

"Terusin lagilah bin-binnya sampai ke nabi Adam," sahut Dipta sampai tersedak.

Aku mendengar suara perempuan di dekat Dipta yang memintanya untuk segera  minum. 

Dipta anak tunggal di rumahnya. Apa itu suara ibunya Dipta? Ah nggak! Aku tahu suara ibunya Dipta gimana. Dua hari yang lalu aku baru ngobrol sama ibunya Dipta lewat telepon. Yah ... Meski pun sampai tiga tahun kami pacaran aku belum pernah bertemu ibunya Dipta. Tapi obrolanku dengan ibunya via udara, nggak bisa dihitung jari karena seringnya.

Saat aku ingin menanyakan ke Dipta itu suara siapa? Panggilan telepon terputus tiba-tiba.

Aku coba menghubungi Dipta lagi, tapi nggak bisa. Panggilan teleponnya bahkan nggak ada bacaannya berdering. Cuma memanggil terus. Apa Dipta selingkuh? Nggak! Dipta nggak mungkin selingkuh. Tapi ... perempuan itu siapa? Kenapa dia sampai sepeduli itu ke Dipta? 

Ketika Dipta KembaliWhere stories live. Discover now