Kakak Kelas

1 0 0
                                    

Ini pekan pertama masuk ajaran baru di sekolah, dan sebagai murid kelas sebelas di SMA negri terbaik yang berada di Medan Selayang, aku cukup syok karena sudah dijejali pelajaran.

Yang lebih parahnya, pelajaran pertama hari ini adalah matematika. Mimpi apa aku tadi malam? Seminggu ini rasanya hidupku bakal sial sekali. Kemarin pagi berantem sama Dipta dan pagi ini harus belajar matematika. Yang benar saja? Besoknya malah kimia. Minum sianida boleh nggak, ya?

"Kau punya pulpen, Na? Pinjamlah," pinta Indah teman semejaku.

Aku dan Indah sudah berteman dekat sejak di kelas sepuluh. Indah baik dan suka dengarin aku cerita. Penyakit buruknya satu, suka meminjam barang dan lupa memulangkan.

"Pulpenku cuma satu, Ndah. Coba kau tanya aja sama Lisa. Kayaknya dia ada," kataku berbohong.

Aku bisa saja meminjamkan pulpen yang ada di tasku. Tapi, kalau terus-terusan meminjamkan khawatirnya Indah jadi keenakan. Bisa-bisa buku pun besok dia minjam.

Padahal aku sendiri beli peralatan sekolah dari uang jajan yang dikasih Mbak Ratna dan jumlahnya nggak seberapa. Sementara Indah, ibu dan bapaknya pedagang bakso yang ramainya minta ampun di Asam Kumbang itu. Jadi nggak mungkinlah mereka biarin Indah sekolah tanpa membelikan peralatannya. Yang iyanya Indah tuh teledor. Barangnya entah tercampak di mana saja. Aku curiga kalau pulpennya dia terbawa ibunya ke warung bakso sana.

Pak Eben, guru matematika, menulis 'Logika Matematika' sebagai judul pelajaran hari ini. Aku pikir matematika itu kayak cinta: nggak ada logika. Ternyata ada logikanya juga, ya? Jiahh!

Pak Eben membuat lingkaran besar dan menulis logika matematika di dalamnya, setelah itu membuat lima garis yang ditarik dari lingkaran itu. Masing-masing garis itu diberi nama: ingkaran, konjungsi, disjungsi, implikasi, biimplikasi, dan ... ganteng sekali. Aku menutup mulut saat Indah refleks menggoyang lenganku.

Cowok yang mengenakan seragam sekolah putih biru sama sepertiku sempat melihat dan tersenyum ke arahku sebelum akhirnya berbicara kepada Pak Eben.

Pak Eben manggut-manggut mendengarkan cowok berjenggot tipis itu, sembari memegangi dagunya yang kering kerontang. Mungkin dalam hati Pak Eben pengin punya jenggot kayak begitu kali, ya?

HP-ku bergetar sebentar, biasanya begitu setiap kali ada yang mengirimkan pesan. 

Aku melirik ke Pak Eben dan cowok itu. Mereka terlihat serius membicarakan sesuatu. Kalau aku bergerak pun rasanya Pak Eben nggak akan menyadari sangking seriusnya lelaki bertubuh tambun itu mengobrol dari tadi.

Kutarik tas yang berada di meja supaya lebih dekat dan gampang kulihat. Ada satu pesan WA dari Dipta, dan dua pesan dari Mbak Ratna. Aku sempat berpikir untuk memblokir saja nomor Dipta biar dia tahu rasa. Tapi rasanya perbuatan itu nggak dewasa, dan aku juga nggak tega sama Dipta. 

Kalau boleh jujur, selama seminggu belakangan ini, perasaanku ke dia mendadak ikut berubah. Aku nggak bosan sama Dipta, cuma merasa perasaanku nggak kayak dulu saja. Perasaanku ke Dipta datar dan cenderung hilang rasa. Apalagi semenjak menjadi siswa kelas dua belas Dipta menjadi kurang perhatian.

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara salam dari cowok yang tadi. Disusul dengan masuknya dua orang cowok yang punya jenggot tipis sama kayak dia.

Pak Eben kurasa malu karena nggak punya jenggot, makanya beliau memilih keluar dari ruangan kelas. Nggak, ding, aku bercanda.

Aku dan teman-teman di kelas menyahut salamnya dengan gembira. Menjawab salam itu wajib hukumnya kata Mbak Ratna. Apalagi yang mengucapkan orangnya ganteng banget kayak cowok itu. Manis lagi kayak kolang-kaling dikasih Kurnia. Kok jadi kolang-kaling, sih?! 

Ketika Dipta KembaliWhere stories live. Discover now