9

5.1K 944 28
                                    

Tetap vote dan komen yang banyak ya teman-teman biar aku juga smeakin semangat nulisnya ^^

***

Hidjo melihat Pram yang tengah damai tertidur. Ia akan kembali ke Den Haag bersama Jati juga Cantika. Sekali lagi ia ingin mencoba mengajak adiknya untuk ikut bersama. Namun melihat wajah damai pria itu yang tengah tertidur, Hidjo jadi khawatir untuk membangunkan Pram.

Beberapa hari ini kembali tinggal di rumah adiknya. Memantau makanan yang dikonsumsi Pram setiap harinya. Pria itu memiliki jadwal yang pasti. Ia akan keluar setiap pukul tujuh pagi, satu siang dan enam sore. Pria itu akan ke dapur memasak dan akan tapi makannya tak akan pernah habis. Pram melakukan itu hanya sebatas rutinitas dan setelah melihat makannya tersaji di atas meja, ia akan duduk melamun sesaat kemudian membuang makanan tersebut.

Setelah itu akan kembali mendekam seharian di dalam kamar sampai jam makan kembali tiba.

Mereka tidak bisa meninggalkan Pram yang dalam keadaan seperti ini. Jika ini terus berlanjut pria itu akan mati kelaparan dan kembali masuk ke rumah sakit.

"Pram," panggil Hidjo ketika Pram membuka matanya. Sudah jam satu, waktunya makan siang.

Alarm bawah sadarnya membangunkannya.

"Hidjo, kamu masih di sini?"

"Ikut kami ke Den Haag. ik semek u" (Aku mohon padamu)

"Hidjo, pergilah saja. Aku masih mau di sini. Ini rumahku. Aku tidak akan meninggalkannya"

"Karena ini rumahmu atau karena kau tidak bisa beranjak dari masa lalu?" tanya hidjo yang ikut mengekor kepada Pram yang siap menyiapkan makan siang.

Pram tak menjawab. Pria itu merasa pusing. Ia hanya ingin tidur saja. Tapi ia harus menyediakan makan siang. Takut jika Jenaka muncul, ia tidak memiliki apapun untuk dimakan gadis itu.

"Biru, kau hanya membunuh dirimu sendiri jika seperti ini," ujar Hidjo yang menggunakan nama asli Pram.

"Jika kau ingin pergi maka pergilah, Hidjo. Ucapanmu membuatku pusing."

"Kau pusing karena kau sudah berhari-hari tidak makan."

Pram mengernyit ketika merasa perutnya terasa sangat sakit. Ada sebuah dorongan untuk membuang isi perutnya. Namun dengan Hidjo di dekatnya, Pram jadi tidak bisa muntah dengan leluasa. Kakaknya itu pasti akan menyeretnya kembali ke rumah sakit dan Pram sangat benci rumah sakit.

"Biru, aku telah memesan empat tiket kereta menuju Batavia, setelah itu kita akan naik kapal dari sana. Kau tak perlu membawa barang apapun."

Hidjo memiliki tanggung jawab lain yang sudah menunggunya di Belanda. Ia sudah menunda kepulangannya cukup lama. Pekerjaan juga keluarganya sudah mengirim kabar bahwa ia sudah kembali dibutuhkan di Den Haag. Tapi Pram juga adiknya, keluarganya. Ia tidak bisa meninggalkan satu-satunya saudaranya seperti ini.

Ia tak menyangka, seorang gadis biasa akan memiliki pengaruh sebesar ini pada adiknya. Ia mengenal Pram sejak anak itu lahir. Pram bukanlah seseorang yang mudah runtuh. Bahkan ketika ayah juga adik mereka meninggalkan mereka, Pram hanya menangis semalam dan besoknya bisa beraktifitas seperti sedia kala.

Hidjo mengizinkan adiknya itu kembali untuk membalas dendam Kuning, adik mereka. Tak disangka oleh Hidjo, bahwa adiknya justru jatuh terpuruk seperti ini.

Ia harus kembali ke Den Haag segera. Tapi sebelum itu, ia juga harus memastikan bahwa adiknya tidak akan terlantar seorang diri di tempat ini. Pria itu akan menghubungi beberapa kerabat juga kenalannya.

Pram yang melihat kepergian Hidjo menghela nafas lega. Rasa mual yang melandanya semakin menjadi-jadi. Ia berlari ke arah kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya. Tak ada yang keluar kecuali lendir pahit karena memang perutnya sudah lama belum terisi.

Surat Dari Pram (Complete)Where stories live. Discover now