11

5.5K 959 47
                                    

Pram mengulurkan segelas air untuk Jenaka. Banyak hal yang perlu diproses oleh otaknya. Hampir semua yang diucapkan oleh Pram mirip dengan surat yang diberikan oleh Cantika. Tentang pria itu yang hanya bertahan tujuh tahun setelah kepergiannya.
Dan penyakit yang merenggutnya.

Jenaka menerima gelas itu dengan kedua tangan kemudian tersenyum. “Terima kasih.”

Pram mengangguk dan mengambil tempat di sebuah sofa lain. Ia memperhatikan jenaka. Pram akan menjawab pertanyaan apapun yang jenaka tanyakan terkait Pram.

“Wilhelm… bagaimana kehidupanmu sebagai seorang Wilhelm?” tanya Jenaka.

Pram menatap langit langit dimana lampu tergantung. Warnanya telah berubah menjadi jingga akibat cahaya sore hari seperti emas yang meleleh menghangatkan ruangan. Tapi tidak dengan perasaannya. Ia justru merasa dingin di tengah ruangan yang hangat tersebut.

Wilhelm ya?

Pram mulai membuka mulutnya untuk bercerita tentang dirinya yang lain sebelum mengingat Pram.

“Wilhelm, lahir di Indonesia tapi di usia ke enam tahun, ikut kedua orang tuanya ke Jerman. Ayahnya seorang diplomat, jadi ia tidak memiliki tempat tinggal permanen. Setelah ke jerman, dia tinggal di Swedia untuk tiga tahun kemudian menetap di Den Haag. Di sana saya belajar dan meniti karir sebagai pengajar di salah satu Universitas. mengambil jurusan hukum karena memang di sidung bidang yang saya minati. Saya juga … sudah memiliki tunangan.”

Jenaka meremas gelas di tangannya lebih erat. Mengetahui pram memiliki tunangan membuatnya terkejut. Ia tidak tahu apa yang ia ekspektasikan. Tapi Pram memiliki tunangan sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Jenaka menundukkan kepalanya. Pram adalah pria dewasa sebelum ia mengingat Pram atau mengingat dirinya. Tentu sangat normal jika pria itu memiliki kekasih. Yang aneh justru jika Pram tidak memiliki pasangan di usianya yang sudah dewasa.

Jenaka pun teringat perbedaan usia mereka. Selama berada di dekat Pram, semuanya terasa begitu mudah. Komunikasi, cara bersikap hingga candaan mereka semuanya satu frekuensi. Hobi membaca pun mereka sama membuat Jenaka lupa bahwa mereka tidak sepantaran. Pram jauh lebih dewasa untuknya.

Meskipun Jenaka juga sudah memasuki usia untuk menikah. Dimana teman-teman seusianya juga sudah memiliki anak tapi tetap saja… Pram memiliki lebih banyak tahun yang harus ia lewati tanpa dirinya. Bahkan jika mengingat usia Pram saat ini, mungkin saja seharusnya pria itu sudah menikah.

“Tidak. Saya belum menikah jika itu yang kamu pikirkan.”

“Hm?”

Jenaka mengangkat wajahnya merasa bingung akan pernyataan Pram yang begitu tiba-tiba.

Pram hanya tersenyum dan bermain dengan jarinya sendiri. Mereka berdua kini duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalangnya.

“Saya sudah bilang kalau setelah saya koma, hal pertama yang saya cari adalah kamu dan itu butuh waktu dan tenaga. Saya memang sudah memiliki tunangan sebelum kecelakaan, tapi setelah itu saya dan mantan saya memutuskan untuk berpisah jalan. Kami putus dengan baik-baik. No hard feelings at all.”

“Oh…” hanya satu kata itu yang bisa menjadi responnya saat ini.

“Karena saya nggak tahu mulai dari mana karena saya sudah lama tidak tinggal di Indonesia dan kewarganegaraan saya juga masih Belanda, saya mulai cari dari Jati. Dia pernah kuliah di salah satu universitas di Den Haag dan kemudian menjadi peneliti di sana. Saya telusuri sampai ketika Cantika memilih kembali ke Indonesia untuk membesarkan Asma dan anak-anaknya yang lain setelah Jati meninggal. Memang agak sulit tapi… media sosial cukup membantu. saya ingat nama kakakmu. Kamu sering bercerita tentang Jetis. Nama Jetis dan seorang pengacara… lewat linkedin saya ketemu dia dan mulai berhubungan dengan Jetis sejak saat itu.”

Surat Dari Pram (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang