Day 2 - The Ship

36 7 0
                                    

Page 3
Audrey's Journal - First Time on The Pirates Ship

Akhirnya, aku memang memutuskan menerima undangan itu. Aku mengikuti misi atau sayembara (entah, apapun itu namanya, aku tak peduli!) untuk mendapatkan jimat suci bersama dengan peserta yang lain.

Ya! Banyak peserta yang mengikuti undangan Kapten Quest dan berakhir naik ke kapal ini.

Sejak pertemuanku dengan Kapten Quest, selama dua hari, aku tidak menulis jurnal karena banyak yang terjadi, dimulai ketika aku akhirnya memutuskan memulai petualangan ini. Esoknya, aku mengajukan cuti kepada Nyonya Olwenn. Kupikir, beliau tidak akan mengizinkanku karena setiap hari toko ramai dan membutuhkan banyak tenaga. Namun, dengan senyum, beliau memberikan izin padaku.

"Seumur hidupmu, kau tidak pernah melakukan hal sesuai keinginanmu, 'kan?"

Itulah kata-kata Nyonya Olwenn. Dia tahu aku bekerja pagi, siang, malam sejak usiaku belia. Sekarang, dia dengan senang hati memberikan hari libur padaku. Dia juga berkata bahwa aku bisa kembali bekerja kapan saja. Lalu, dia memberiku gaji bulan ini, sejumlah hari aku bekerja. Namun, kemudian ada amplop lain yang dia selipkan di tanganku. Aku berusaha menolaknya, tapi dia bilang itu adalah bonusku karena beliau sering meminta bantuanku di luar jam kerja atau di luar jobdesk-ku.

Takut membuatnya tersinggung, aku menerimanya. Di dalam hati, aku juga senang mendapatkan uang tambahan. Selanjutnya, aku juga berpamitan dengan pemilik Kuki de Cafe. Karena aku hanya pekerja paruh waktu, aku boleh cuti bekerja, tapi pemilik mengatakan bahwa mungkin saja posisiku akan digantikan pencari kerja paruh waktu lain selama aku cuti. Ketika itu terjadi, aku tidak bisa kembali bekerja di kafe. Aku menyetujuinya. Tanpa kusangka, sang pemilik kafe juga memberiku bonus uang.

Aku menggunakan uang bonus dari Nyonya Olwenn dan pemilik kafe, serta beberala tabunganku untuk membayar cicilan ke Tuan Mikael. Sebelum pulang, kusempatkan mampir ke rumahnya. Kubilang, uang itu untuk membayar bulan ini dan bulan depan. Jadi, kuperingatkan dia agar tidak mendatangi rumahku sampai bulan depan.

Aku sebenarnya tidak tahu sampai kapan petualangan dengan kapal The Holy Serpent berlangsung. Entah seminggu, dua minggu, atau sebulan. Jaga-jaga saja aku membayar angsuran utang sampai bulan depan. Kali saja, aku belum pulang. Daripada para pesuruh Tuan Mikael mendatangi rumahku dan mendapati aku tidak ada di rumah. Bisa-bisa, mereka menaikkan bunganya.

Nah, angsuran utang beres. Lalu, aku hanya perlu mempersiapkan perbekalanku, karena besok sore aku sudah harus berada di pelabuhan.

Di hari pertamaku cuti bekerja, entah kenapa rasanya aneh sekali berada di rumah sendirian di pagi hari. Biasanya, aku harus bangun setidaknya pukul 4 pagi agar bisa bersiap-siap berangkat bekerja ke toko roti Nyonya Olwenn. Biasanya, setelah bangun tidur, aku langsung mandi. Lalu, belanja ke pasar tersembunyi bagian Permukane. Pagi itu, tak banyak yang kubeli. Aku membeli bahan untuk sarapan dan juga untuk pertama kalinya, menbeli daging sapi untuk bekal.

Sebenarnya, aku tidak pernah membeli daging, seringnya hanya sayuran murah, kacang-kacangan, dan ubi. Terkadang, kalau sedang untung, aku bisa mendapatkan jelai dan kacang-kacangan premium dengan harga murah. Apa saja yang murah, itu yang menjadi menuku. Setelah mempersiapkan semua mulai baju, peralatan pribadi, obat-obatan, aku menghabiskan waktu dengan beres-beres rumah, lalu sore harinya berangkat menuju pelabuhan.

Ketika sampai di pelabuhan, aku melihat pelabuhan lebih ramai dari biasanya. Sejak awal, aku menduga bahwa penyebab ramainya pelabuhan adalah undangan itu.

Ya iyalah, Audrey! Mana mungkin Kapten itu hanya memberi undangan padamu seorang!

Benar saja, sekilas, aku melihat seorang lelaki memasukkan kertas undangan putih seperti milikku ke dalam tasnya. Aku jadi yakin bahwa peserta yang mengikuti undangan ini sangat banyak. Aku sering memperhatikan orang-orang di pelabuhan lewat Kuki de Cafe. Biasanya, kebanyakan orang asing dan nelayan. Namun, saat ini, aku melihat beberapa ada yang kukenal, ada bocah pelanggan toko roti Nyonya Olwenn. Matilda namanya. Ada rekan kerjaku, Zuri. Dia juga ikut. Juga ada yang kukenal sebagai pengunjung kafe Kuki, dan beberapa orang yang sering kutemui di Rhea Cemetery. Ternyata semua juga tertarik dengan pencarian jimat suci itu.

Aku tak lama menunggu di dermaga. Sebuah kapal raksasa tampak datang. Kapal itu terlihat mewah, tapi misterius. Di puncak layar kapalnya, ada bendera berkibar-kibar. Saat pertama kali melihat kapal ini di pelabuhan, jantungku berdebar cepat. Baru kali ini aku melihat kapal sebesar ini. Biasanya, kapal-kapal yang kulihat tidak sebesar itu. Juga, aura misterius yang terpancar, seakan membuatku merinding dan tiba-tiba saja, perasaanku tak enak. Aku memang tidak mempunyai kemampuan supranatural, tapi ketika melihat kapal ini, ada dua kubu di benakku.  Yang satu menyuruhku untuk lanjut mengikuti sayembara, yang lain menyuruhku mundur.

'Kau tidak tahu dengan pasti apa yang ada di kapal itu.'

Aku mendengar suara dalam benakku, seakan mengingatkan.

'Kau butuh uang, 'kan? Jangan menyerah!'

Benak lain berteriak.

Sebuah peluit kemudian berbunyi. Itulah tanda kami harus memasuki kapal. Akhirnya, tekadku yang sudah bulat tidak bisa kubendung. Aku menaiki kapal itu. Aku juga memutuskan untuk tidak berinteraksi dengan sesama peserta. Aura kapal ini sungguh suram, entah kenapa. Para peserta kulihat juga tidak banyak bicara satu sama lain. Aku mengikuti arus saja. Malah bagus jika tidak ada interaksi, tenagaku tidak berkurang. Namun, aku sempat bertanya apakah aku boleh berkeliling ke mana pun, kepada seorang wanita. Sepertinya dia adalah kru kapal. Rambutnya merah muda panjang sebahu.

Sekitar 1 jam, aku menghabiskan waktu untuk berkeliling. Pertama-tama ke dek atas kapal bagian belakang. Angin laut begitu kencang, aroma samudera menusuk hidung. Rasanya segar sekali. Kunikmati selama beberapa menit. Lalu, aku lanjut berkeliling menuji dek depan. Sepanjang jalan, kulihat ada beberapa ruangan di lantai atas kapal. Ada ruang dengan dek luas yang kutebak untuk ruang pertemuan, lalu naik tangga, ada kemudi kapal yang besar dan sebuah ruangan kecil, mungkin ruangan Kapten Quest.

Layar kapal ini terdiri dari beberapa lapis dan lebar. Di tengah-tengah terdapat bendera maskot dan tulisan The Holy Serpent di bawahnya. Turun ke lantai bawah, ada banyak pintu-pintu kayu. Kutebak, itu adalah kamar-kamar yang digunakan oleh awak kapal. Ruangan kapal ini begitu banyak, hingga membuatku bertanya-tanya, di manakah harta karun yang dimaksud? Yang akan menjadi hadiah utama ketika sudah menemukan jimat suci?

Aku berjalan hampir mencapai ujung kapal ketika sebuah terumpet berbunyi, membuat para peserta kemudian berkumpul di dek utama di atas. Ternyata, itulah saatnya perkenalan awak kapal. Ternyata, ada seseorang yang pernah kutanyai, si wanita berambut merah muda. Namanya ternyata Avril. Aku juga menandai kru wanita bernama Oceana, si petugas kesehatan. Aku sering terluka, mungkin saja aku membutuhkannya.

Untuk kru yang lain, mungkin aku akan bercerita detail di halaman lain. Yang jelas, yang paling mencolok dari antara awak kapal, adalah Kapten Quest, orang yang sama dengan yang memberiku undangan ini. Dia sangat berwibawa, kemarin aku menemuinya di malam gelap, sekarang, aura ketampanannya semakin terlihat di bawah cahaya lampu. Ah, dia memang tampan.

Ketika Kapten Quest bilang kami akan berpesta malam ini, semua penghuni kapal bersorak gembira. Makanan berat, kudapan, dan minuman keras tersedia. Kami menikmati sepuasnya. Beberapa ada yang memetik kecapi dan menyumbangkan suara, menambah semarak pesta malam itu.

Saat itu, entah aku sudah habis berapa gelas bir. Badanku rasanya ringan dan melayang. Perutku mual, kepalaku pusing dan Oh Tuhan, semuanya gelap!

Rhea City, 07.35

The Cursed Ship of Holy SerpentWhere stories live. Discover now