Day 1 - Mysterious Things

20 3 0
                                    

Page 2
Audrey's Journal - The News

Entah dari mana aku harus memulai menulis. Hari ini ada kejadian yang cukup mengejutkan. Bahkan, jantungku masih berdebar cepat saat ini.

Pagi tadi, aku berangkat kerja seperti biasa, tapi kusempatkan ke makam ibu dulu. Aku menaburkan bunga mawar dan kenanga, serta menyiraminya dengan air dan minyak wangi di pusaranya. Pagi itu, Rhea Cemetery sepi, hanya ada dua orang yang memang bertugas menjaga area pemakaman. Tidak ada pengunjung.

Aku menyapa ibu dan berkeluh kesah tentang hari-hariku, seperti bercerita kepada teman. Namun, aku senang, aku seakan merasakan kehadiran ibu.

Ketika aku menutup mata untuk berdoa, aku mendengar suara burung berkaok. Aku segera membuka mata karena suara itu terdengar dekat sekali. Ternyata, aku melihat gagak hitam hinggap di nisan ibu.

Gagak itu tidak begitu besar, seperti gagak pada umumnya. Bulunya hitam mengkilat, matanya bulat besar, sayapnya mengepak-ngepak. Sesekali dia mengusapkan paruhnya ke sayapnya. Entah kenapa aku tidak begitu nyaman menatap matanya, seakan-akan dia menatapku lekat.

Gagak hitam dipercaya sebagai hewan pembawa sial, juga pembawa keberuntungan dalam satu waktu.

Sebagian orang percaya bahwa gagak hitam adalah jelmaan malaikat maut. Jika dia hinggap di atap rumah seseorang, maka tidak lama akan ada yang meninggal di rumah itu. Sebagian orang lagi percaya bahwa gagak hitam adalah hewan yang menuntun keberuntungan agar memasuki rumah yang sudah disinggahi gagak hitam. Kalau gagak hitam berkaok, maka suara itu juga bisa menolak bala bagi si pemilik rumah.

Sejujurnya, aku antara percaya atau tidak. Bagiku, kedudukannya sama seperti hewan lain. Dia hanyalah makhluk hidup yang sama-sama menghuni dunia. Namun, karena kepercayaan orang-orang, aku jadi sedikit terpengaruh hingga cukup lama memikirkan tentang kehadiran gagak itu. Apakah dia membawa nasib baik atau nasib buruk untukku?

Setelah selesai berdoa dan kulihat gagak itu pergi, aku melanjutkan perjalanan menuju toko roti. Tidak ada yang istimewa di toko. Seperti biasa, toko roti ramai pembeli. Aku harus menyunggingkan senyum sejak toko buka. Begitulah pekerjaan yang berhubungan dengan kustomer. Tak jarang, ada kustomer yang cerewet, tapi kita harus tetap tersenyum dan ramah terhadapnya, meskipun dalam kasus kustomer yang salah.

Pernah suatu kali, seorang kustomer mengambil kue dari etalase, menjilatnya dengan santai, lalu mengembalikannya ke tempat semula tanpa rasa bersalah. Dilihat dari penampilannya, kustomer ibu-ibu berbadan besar itu tampak seperti keluarga bangsawan. Dia memakai pakaian berbahan sutra panjang, sepatu mengilap, dan topi bundar lebar. Riasannya juga menor. Dia berjalan dengan anggun, memandangi etalase kaca yang penuh dengan berbagai macam kue. Namun, dengan mudahnya dia melakukan hal seperti itu di toko roti.

Tentu aku yang mengetahuinya langsung menegur. Tahu apa yang membuat kesal? Bahkan saat menegur pun, kita harus berlaku dengan sopan. Tersenyum, berbicara semanis madu, tanpa ada makian atau menghakimi. Sebisa mungkin, kita harus bersikap ramah dan tidak membuat pembeli tersinggung.

Dengan hati-hati, aku hanya berkata bahwa kue yang sudah dicicipi tadi bisa langsung dibayar di kasir. Tidak ada tuduhan, tidak ada intimidasi. Namun, wanita itu berkata dengan suara keras bahwa aku pegawai toko roti rendahan yang tidak tahu diri. Dia berkata bahwa itu menyinggungnya, seakan dia tidak akan membayarnya dan kabur. Lalu, dia memberitahuku silsilah keluarganya yang mempunyai kedudukan tinggi. Sejujurnya, aku tidak ingin mengetahuinya, aku hanya ingin dia membayar rotinya. Aku diam saja dan menerima segala makiannya.

Selama bertahun-tahun, rutinitas ini yang kulakukan. Selalu tersenyum manis, padahal hati kecut. Melelahkan bekerja seharian penuh, tapi uang yang kudapat tidak pernah bisa kunikmati. Yah ... Setidaknya aku masih bisa makan.

The Cursed Ship of Holy SerpentWhere stories live. Discover now