14. PULANG

14 3 0
                                    

SELAMAT MEMBACA💘

•••

14. PULANG

Orang lain menikmati hari Minggu sebagai hari libur digunakan untuk spend time with family, pergi jalan-jalan, atau mungkin hanya goleran di kasur. Akan tetapi, beda halnya dengan Nuala hari ini. Perempuan itu harus menghadapi papa kandungnya yang tiba-tiba datang ingin membawanya keluar kota, ke tempat beliau berdomisili saat ini.

Nuala jelas menolak. Ia sudah bahagia di sini. Tidak pernah terlintas di pikirannya untuk ikut tinggal bersama sang papa. Sampai kapan pun ia tidak mau.

"Papa sudah jauh-jauh ke sini untuk menjemput kamu, Nuala." Papa Nuala berbicara dengan nada tegas sejak tadi.

"Nuala nggak minta Papa jemput. Kemarin Nuala kan udah bilang kalau Nuala mau tinggal di sini. Nuala bahagia kok di sini. Banyak yang sayang sama Nuala," ucap Nuala keras kepala.

"Kamu akan lebih bahagia kalau tinggal sama Papa." Papa dan anak sama-sama keras kepala.

Nuala tersenyum gamang. "Memangnya Papa bisa jamin Nuala bakal lebih bahagia kalau tinggal sama Papa?"

Mendengar anaknya bisa berbicara seperti itu, Papa Nuala mulai naik pitam. "Sejak tadi kamu selalu berbicara dengan lancang, Nuala. Papa tidak pernah mengajari kamu berbicara seperti itu dengan orang yang lebih tua. Di mana rasa hormat kamu kepada Papa kamu sendiri?" ujarnya.

Tawa sumbang Nuala terdengar. Ia bertanya, "Hormat? Sama Papa?"

Satu tamparan keras mendarat di pipi mulus Nuala. Perempuan itu terdiam sesaat, kemudian tangannya yang bergetar bergerak ke atas untuk menyentuh pipinya yang terasa nyeri.

"Hidup di sini hanya membuat kamu menjadi anak pembangkang dan durhaka kepada orang tua. Lebih baik kamu tinggal sama Papa. Papa akan mendidik kamu dengan baik," ucap Papa Nuala. "Kamu jadi kasar begini pasti karena didikan yang gagal dari mama kamu itu!"

"Kenapa Papa selalu nyalahin mama? Sekali aja bisa nggak jangan bawa-bawa mama? Nuala nggak suka Papa pengin dipandang lebih baik dari orang lain. Padahal kenyataannya Nuala seperti ini itu karena Papa!" pungkas Nuala dengan tatapan penuh kekecewaan.

Lagi, sekali lagi Nuala mendapatkan tamparan yang jauh lebih keras hingga membuat pipi perempuan itu semakin mengeluarkan semburat merah yang menyakitkan. Setetes air mata Nuala menambah rasa perih ketika mengalir di permukaan pipinya.

"Tampar lagi, Pa! Pukul Nuala sampe Papa puas!" Nuala meraung keras hingga suaranya menggaung ke seluruh ruang tamu rumahnya.

Nuala meraih tangan pria paruh baya itu dan mengarahkan ke wajahnya. "Ayo, tampar Nuala lagi. Tolong bikin Nuala lebih benci sama Papa!" katanya dengan suara lirih, namun terdengar sangat menyayat hati.

Papa Nuala mengetatkan rahangnya. Wajahnya memerah padam mendengar kata-kata Nuala. Tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat. Pria itu lantas mengempaskan tangan Nuala hingga cekalannya terlepas, kemudian pergi meninggalkan rumah ini.

Nuala terduduk lesu dan menyender ke dinding. Kakinya ia tekuk, menjadikan lututnya sebagai tumpuan kepala yang menunduk dalam. Ia menangis tanpa suara.

Rasa nyeri di pipinya yang mulai menjalar ke mana-mana tidak lebih dari rasa sakit hatinya kepada sang papa. Kata-kata dan tindakan beliau kembali menorehkan luka, memperdalam luka yang sebelumnya bahkan belum sanggup ia sembuhkan.

Kini Nuala semakin paham, mengapa mamanya dahulu tegas ingin berpisah. Kalau jadi mama pun Nuala pasti akan melakukan hal yang sama. Bersama orang yang terlalu keras dan egois hanya akan merusak kejiwaan mental.

520 MEANINGSWhere stories live. Discover now