PART 3

1.6K 333 21
                                    

"Gue ngga sanggup lagi!" Dengan dada naik turun tak beraturan, Libelle menjatuhkan bokongnya diatas rumput lapangan.

Mentari belum naik dan dia sudah dibangunkan oleh petugas untuk melatih stamina.

Gadis itu diselimuti peluh, berkeluh kesah memprotes ketidakadilan yang dia alami.

"Cil, udah nyerah aja,"

Suara itu milik Reiga. Berbeda dengan Libelle yang terengah-engah, sedikitpun tak terlihat jejak kelelahan dari penampilan pemuda itu. Dia masih segar dengan posisi lari di tempat.

"Baru lima putaran." Tambahnya mencibir. Sebelah tangannya juga tak tinggal diam—mengacak-acak rambut coklat Libelle.

Segera gadis itu menekan wig nya agar tak terlepas.

Tolong! Jangan samakan kekuatan fisik mereka dengannya! Tubuh yang ditempatinya juga tak se-energik itu!

Sedikitnya Libelle juga menaruh dendam pada pemuda berlesung pipi ini. Kemarin malam, saat Alfareezel mengatakan tak ingin melindunginya, Reiga malah mengangguk mengiyakan.

Jika mereka memang bukan teman, lantas mengapa pemuda ini berlagak menyemangatinya? Mengganggunya? Enyah saja sialan!

Kalau soal perudungan, Libelle masih bisa membela diri. Hanya saja, masa depannya tak selalu bisa diprediksi. Bagaimana jika pencinta batangan itu berkelompok mengahadangnya? Libelle juga memiliki batas tertentu!

Hidup sendirian di jalanan mengharuskan gadis itu tau bagaimana bertarung. Dia tidak memiliki tempat untuk berlindung. Siapa lagi yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri?

Keluarga? Orang tua? Jika orang tuanya menyanyanginya tak mungkin dia di buang ke panti asuhan ketika berumur lima tahun.

"Jae? Ayo! Sepuluh putaran lagi, kok!" Arzhel yang melihatnya saat melintas, menarik tangan Libelle agar berdiri.

"Semangat! Nanti kita langsung ke kantin."

Mau tak mau gadis itu ikut berlari.

Sialan latihan pagi! Pasti otot-otot kakinya akan menegang setelah ini. Memikirkan jika dia harus mengulang rutinitas yang sama di setiap pagi, semakin menurunkan stamina Libelle.

Haruskah dia berpura-pura pingsan? Sempat terbesit ide itu namun segera enyah. Bisa-bisa dia ketahuan oleh petugas kesehatan.

"Semangat, Jae. Kamu harus nyemangatin diri." Arzhel menepuk pundaknya. Senyuman terpantri di wajah cantiknya. Tapi tidak mempan pada Libelle yang sudah kehilangan minat.

"Haa.... mampus gue." Ucapnya membayangkan sembilan putaran lagi.

"Heh, ngga boleh ngomong gitu. Kamu harus berpikir positif"

"Haaa.... mati gue."

Tiga puluh menit kemudian. Lapangan yang tadinya dipenuhi oleh siswa-siswa kini mulai berkurang dan hanya menyisakan pemuda mungil seorang diri.

Libelle menelan ludah saat paru-parunya mengembang mencuri oksigen. Gadis itu bermandikan keringat sepenuhnya.

Menggertakkan gigi, lututnya yang seperti jelly turun merosot menubruk tanah.

"Gue ngga sanggup lagi! Penulis anjeng!" Gadis itu merebahkan tubuhnya. Kedua kaki dan tangannya bergerak naik, menendang dan memukul udara.

"Hal pertama yang bakal gue lakukan setelah keluar dari dunia ini..... mati lo ditangan gue, penulis!" Dendamnya berkobar senyala api. Ingin sekali mengguncang kerah penulis novel gila ini.

"Gue capek, setan!" Gadis itu memutar badan—meliuk-liuk berguling-guling diantara tanah.

Persis seperti cacing yang disiram air garam.

The Second Male Lead is Actually a GirlМесто, где живут истории. Откройте их для себя