#7-Shock Day, Ever!

1.9K 176 52
                                    

LIZZY

Apa aku sudah mati?

Oh, tidak rupanya. Aku masih hidup. Masih bernapas, masih bisa melihat warna putih di atas wajahku. But, wait! Kenapa warnanya putih? Bukankah warna putih berarti aku sudah di alam lain? Semua orang yang sudah meninggal akan memakai pakaian serba putih dan akan berada di tempat yang putih-putih, kan?

"Lo udah sadar, Liz?"

Pertanyaan bernada cemas itu membuatku menoleh. Nyaris saja aku berteriak saat melihat wajah Afnan yang memar di beberapa tempat, juga darah yang sudah mengering di sudut bibirnya. Meski begitu, aku harus tetap mengakui dalam hati kalau Afnan masih terlihat tampan.

Oke, kepalaku mulai bermasalah sepertinya. Bisa-bisanya aku mengatakan bahwa Afnan tampan?

Aku berusaha untuk duduk dan Afnan dengan kecepatan supernya langsung membantuku. Dia menaruh bantal di kepala tempat tidur dan mendorongku pelan supaya aku bisa bersandar dengan nyaman. Kemudian, saat Afnan kembali duduk di kursi di samping tempat tidurku, aku tanpa sadar mendaratkan telapak tanganku di wajahnya yang memar.

Dan Afnan meringis. Membuatku ikut meringis juga.

"Lo kenapa?" tanyaku ingin tahu. Kusapukan pandangan ke sekitar dan menyadari kalau aku sedang berada di kamar rumah sakit. "Kenapa gue ada di sini?"

Afnan tersenyum menyesal. "Lo jatuh dari tangga, lupa? Lo lari setelah gue cium. Meskipun gue berusaha untuk melindungi lo, tapi lo tetap pingsan. Saat itu, gue langsung bawa lo ke rumah sakit, bertepatan dengan Ikrar yang ke luar dari dalam kamar tamu. Begitu kami sampai di sini dan lo ditangani oleh dokter jaga di UGD, Ikrar marah besar dan mukulin gue."

Aku tersentak. "Dan lo nggak ngelawan?!"

Kulihat Afnan diam dan menarik napas panjang. Tanganku sendiri masih bertahan di pipinya. Cowok itu kemudian memegang pergelangan tanganku yang bertengger manis di pipinya itu dan tersenyum menenangkan. What the hell?! Bisa-bisanya Afnan tersenyum, di saat dia menjadi korban pemukulan Ikrar?

Dan lagi, apa yang ada di dalam pikiran Ikrar, sih?! Aku jatuh kan karena kesalahanku sendiri!

"Dia berhak mukulin gue, Liz. Gue udah bikin lo terluka," katanya pelan. Ke mana sifat Afnan yang menyebalkan? Kenapa sifat itu seolah lenyap? Apa... apa karena aku terjatuh? Apa karena dia khawatir padaku?

Lalu... ciuman itu. Apa arti ciuman di balkon lantai dua rumahku itu?

Mengingat ciuman lembut dan sedikit liar dari Afnan padaku, membuat wajahku memanas dengan cepat. Aku menunduk, mencoba menarik tanganku dari pipi Afnan, tapi cowok itu tidak membiarkan. Berdeham untuk menghilangkan kegugupan dan pikiran sinting dalam otakku, bahwa aku ingin sekali dicium lagi oleh Afnan, aku segera mencari topik lain untuk dibicarakan.

Karena kalau hanya diam begini, bisa-bisa Afnan mendengar detak jantungku yang meliar. Hentakan jantungku pada rongga dadaku bahkan membuatku sesak napas. Aku ingin sekali bersembunyi dari Afnan.

Astaga! Ada apa denganku?! Apa... apa aku mulai memiliki perasaan khusus untuk Afnan si beruang kutub keluaran neraka itu? Apa... apa posisi Elkansa sudah bergeser di dalam hatiku dan digantikan oleh Afnan?

"Maaf, Liz," kata cowok itu kemudian, membuyarkan semua lamunan tidak masuk akalku. Kudongakkan kepala dan tatapan menyesal itu menghantamku telak. Tuhan, aku tidak suka melihat Afnan seperti ini. "Maaf, karena perbuatan brengsek gue, lo harus jatuh dari tangga dan berakhir di rumah sakit."

Aku menggeleng dan menarik napas panjang. "Nggak usah minta maaf, Af. Gue nggak apa-apa, kok." Tersenyum, aku balas menggenggam tangan Afnan yang terasa dingin. Apa cowok itu takut sesuatu yang buruk terjadi padaku? Hanya dengan mempunyai gagasan itu saja sudah bisa membuat hatiku menghangat, entah kenapa. "Soal... mmm, ciuman kita... gue... gue nggak terlalu mikirin, kok. Toh, itu bukan yang pertama kalinya lo main nyosor ke gue!"

FEELINGS (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now