5. Pedekate, Bukan?

1.3K 179 27
                                    

Cepat atau lambat, perubahan memang terjadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cepat atau lambat, perubahan memang terjadi. Hal ini juga kejadian di Orbit, orang yang dikenalnya dari zaman Megalitikum akhirnya perlahan berubah. Rute berangkat sekolah cowok itu jadi lebih panjang dari biasa. Kalau dahulu, Sabda tinggal nongol di garasi, duduk cantik di mobilnya terus nggak lama sampai di sekolah. Sekarang, Orbit pakai tambahan acara menjemput Qorina. Padahal kan jadinya lebih jauh karena harus memutar dan mereka berdua harus berangkat lebih pagi.

Problem penting hari ini adalah Sabda kepengin sarapan lontongnya Ibu Kantin. Jadinya dia nggak ikut nebeng sama Orbit. Dia meminta Pak Min langsung mengantarnya ke sekolah. Demi sepiring lontong Ibu Kantin yang menghantui ketenangan, Sabda sampai di sekolah pukul setengah tujuh. Ini memecah rekor, mengingat dia sama Orbit biasanya datang mepet-mepetan sama bunyi bel.

Saat Sabda masuk ke kelas, dia melihat Satria duduk di bangkunya. Cowok itu memegang cokelat.

"Woy!" Dia mengejutkan Satria, membuat cowok itu tergagap. "Ngapain di bangku gue?"

"Anjrit! Hampir copot jantung gue!"

Sabda terkikik melihat Satria yang benar-benar terkejut. Dilihatnya dua batang cokelat putih di tangan Satria dan dirampasnya. "Cokelat ini buat gue kan?"

Satria mengangguk. Sabda memperhatikan paket cokelat untuknya. Kali ini si pengirim memberinya dua Toblerone diikat dengan pita berwarna merah muda. "Nggak sopan lo, BangSat. Nggak boleh pegang barang orang yang pemiliknya aja belom meriksa."

"Ye... Mak Lampir mulai bawel." Satria mengamati Sabda, cewek yang duduk di depannya itu menaruh tas di atas meja. "Tumben lo datang pagi, kesurupan apa?"

Seperti tersadar akan tujuannya, Sabda langsung menyeret Satria ke kantin. "Gue ngidam lontong Ibu Kantin," ujarnya saat di koridor.

"Astagalofyu, bahasa lo, Tet. Hamil anak siapa lo?!" Satria belagak histeris.

"Perumpamaan aja kali! Nggak beneran juga. Serius bener kayak aki-aki," cerocos Sabda sambil memasuki kantin. Dia langsung memesan seporsi lontong dan teh manis hangat.

"Lo nggak makan?" Sabda mulai menyendokkan lontong dengan kuah berwarna kuning ke mulutnya.

"Orang bule mah biasanya brunch," jawab Satria sambil sok-sokan membenarkan kerah baju.

"Bodo amat!" ungkap Sabda. Terbersit sesal yang dalam atas pertanyaan baiknya barusan. Dia memfokuskan diri pada sarapan. Ponselnya berbunyi, datang balasan pesan dari Kaisar.

"Siapa?" Kepala Satria terulur ke samping, mengintip layar percakapan Sabda. "Kaisar?"

"Iya." Bibir Sabda melengkung senang. Cewek itu menunjukan percakapannya dengan Kaisar. "Menurut lo, dia lagi pedekate sama gue nggak, sih?"

Satria mengambil ponsel Sabda dan membaca percakapan yang ada. Ada ucapan 'Selamat pagi' dari Kaisar, disusul cerita Sabda bahwa cewek itu pengin makan lontong, lalu obrolan seputar lontong enak di Jakarta, ditutup dengan Sabda mengirim gambar penampakan lontong terenak versinya yang baru diambil tadi dan ucapan 'Selamat makan' dari Kaisar.

SABDA [Moving]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang