Part 3 - Missunderstood Arga

371 48 5
                                    

Arga sebenarnya sudah terbangun sejak tadi, tapi ia malas saja turun ke bawah, lalu mendengarkan papa dan mamanya mengoceh tak karuan tentang kebiasaan mabuknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arga sebenarnya sudah terbangun sejak tadi, tapi ia malas saja turun ke bawah, lalu mendengarkan papa dan mamanya mengoceh tak karuan tentang kebiasaan mabuknya. Pasti si melarat dari jalanan itu sudah mengadukan dirinya kepada semua orang. Dasar tukang ngadu, kayak bocah! pikirnya. 

Putra kedua keluarga Poernomo itu bangun dari ranjangnya dan berjalan terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Setelah ia memastikan tak ada keributan apapun di ruang makan tanda semua orang sudah pergi melakukan aktivitasnya masing-masing, barulah Arga melangkahkan kakinya ke sana. 

Lelaki itu mengernyit tidak suka menatap makhluk menyebalkan, si tukang ngadu, anak melarat dari jalanan itu masih duduk di meja makan. Berbagai cara sudah Arga lakukan untuk membuat gadis itu menderita. Tentulah gadis itu layak dibuat menderita. Demi Tuhan, dia anak haram mamanya dengan lelaki lain. Kenapa tidak ada satu orang di rumah ini yang percaya padanya? Mereka semua menganggap Erina, itu gadis manis dan polos, padahal dia adalah serigala berbulu domba. Hanya neneknya yang menjadi sekutunya untuk menyiksa Erina, yang lainnya berkomplot membelanya. Dunia sungguh tidak adil. Maka dari itu semenjak gadis melarat itu datang Arga tak berhenti bertingkah, kebiasaannya berpesta dan mabuk-mabukan semakin menjadi.

Gara-gara rapat yang batal karena dia mabuk kemarin, Raka tak berhenti mengoceh di telinganya. Bagaimana dia harus bersikap lebih dewasa sesuai umurnya, lebih bertanggung jawab terhadap pekerjaannya, mulai tepat waktu datang ke kantor. 

"Pemimpin itu harus bisa memberikan contoh. Kalau kamu sendiri, memberikan contoh tidak disiplin seperti ini, kamu akan jadi bahan cibiran di divisimu." Raka menasehatinya berulang kali tentang hal yang sama. 

"Mana berani mereka mencibir anak bos," jawab Arga tenang. 

"Kamu itu! " bentak Raka sambil menggebrak meja. "Sudah 28 tahun. Demi Tuhan, dewasalah sedikit. Mestinya dulu, Mas, taruh kamu di bagian paling bawah dengan pegawai biasa. Biar kamu tahu, susahnya bekerja."

"Ya udah, copot aja!" tantangnya. Ia tahu Raka tak akan berani. Neneknya akan menentang keras. Beliau tidak akan rela, cucu kesayangannya menjadi jongos di perusahaan miliknya putranya.

Dari dulu hubungannya dengan Raka tidak pernah terlalu dekat. Arga yang periang, humoris dan penyuka pesta, berbeda dengan Raka yang pendiam, kutu buku, serius dan bisa diandalkan. Jurang pemisah diantara mereka semakin parah ketika Arga mulai masuk dan bekerja di perusahaan yang didirikannya papanya, Poernomo Boga Industries, Tbk. Dirinya merasa selalu dibandingkan dengan kakaknya yang perilakunya sempurna, perhitungan dan insting bisnis nya selalu mendapatkan pujian dari papanya, dan kolega-koleganya. 

Setiap kali dia melakukan kesalahan pasti Poernomo akan berkata, “kamu harus banyak belajar dari kakakmu agar tidak melakukan kesalahan seperti ini.”

“Kakakmu dulu perhitungannya bagus, sehingga yang gini ini nggak kejadian.”

“Arga, kamu mesti lebih teliti dong. Kalau memang nggak bisa, kamu cari orang yang bisa. Sebagai leader, kamu mesti bisa mendelegasikan pekerjaan ke orang yang tepat. Kamu contoh Raka dong!”

Thank You, Erina! (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang