Part 16 - Another Wound

187 22 0
                                    

Erina merasa semua beban di hati maupun pikiran menguap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Erina merasa semua beban di hati maupun pikiran menguap. Setelah meneguk segelas cairan yang tidak diketahui mereknya itu, tidak butuh waktu lama untuk membuat kesadarannya error. Ia masih bisa bicara dan melihat, tetapi tidak berorientasi pada lingkungan sekitar. Ucapan random-nya, terutama tentang Arga hanya Vera yang mengerti sepertinya.

"Enggh! Kenapa kita pindah?" Erina nyaris tidak mampu menopang beban tubuh sendiri. Seorang lelaki yang justru terlihat macho karena rambut gondrong berkuncir satu memapahnya.

"Kita pindah, Cantik. Kami cuma teasing ke Arga." Suara berat nan serak itu meredam di telinga Erina.

"Heeh!" Erina tersenyum tipis dan terkekeh lemah-tentu tanpa sadar. Dirinya merasa puas dengan jawaban itu. Biarlah sekali-kali ia andil mengajak Arga bermain-main. Mendengar sahutan itu sungguh menyenangkan.

Cahaya redup, tetapi terlihat mewah menyapa indra penglihatan Erina. Mata sayunya berpendar ke penjuru seraya kaki yang semakin masuk ke ruangan. Ia menduga ini hanya ruangan sebelah atau sebelahnya lagi dari tempat tadi di mana Arga berada. Lantas pantatnya mendarat di sofa merah maroon empuk. Tubuh sempoyongannya ikut bergoyang-goyang mengikuti musik EDM yang kurang dari setengah menit lalu dinyalakan oleh seseorang. Kali ini, dirinya begitu menikmati alunan musik yang selalu ia nilai sangat mengganggu dan berisik hingga dapat merusak pendengaran.

Erina mengambil gelas wine yang masih bersih. Saat tangannya akan mengambil botol berisi cairan beralkohol, lelaki yang tadi menyalakan musik menahan.

"Biar aku tuangkan," tawar lelaki itu.

Erina yang tidak tahu namanya pun menurut saja. Ia mengangkat gelas bertangkai panjang itu, lalu cairan merah keunguan mengalir ke ruang kosong di dalamnya. Saat sedang mendekatkan gelas ke bibir, seseorang yang lain menginterupsi. Menoleh ke kanan, ia mendengkus dan menampik tangan yang menahan pergelangannya.

"Udah cukup kamu minumnya, Er," tutur lelaki yang tadi membantunya berjalan.

"Dia belum mabuk beneran, Ji."

Erina mendesis dan mencubit punggung tangan sosok itu hingga terdengar suara mengaduh. Lantas ia menekan-nekan dahi lelaki itu dengan telunjuk kiri. "Heeh ...! Kamu itu siapa berani-beraninya ngelarang aku? Hmm ... aku ini gadis tangguh!"

Terdengar gelak tawa dari sisi sebelah. Erina menoleh dan memberi tatapan tajam pada orang yang memanggil Aji tadi. Ahh! Dirinya tahu nama itu karena tadi sempat mendengar tiga kali.

"Hei, gadis pungut!"

Teriakan dari sofa sebelah membuat Erina dan dua kepala di kanan-kirinya menoleh.

"Apa beneran kamu itu anak haram mamanya Arga?!" Lelaki berjaket kulit hitam dengan belahan rambut di tengah itu menatapnya remeh dan merendahkan. Senyum miring tercetak jelas di sudut kiri bibir setelah menanyakan hal tersebut. Dua gadis yang duduk mengapit lelaki itu juga ikut memberikan sorot yang sama padanya.

Thank You, Erina! (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang