R. [08] Pagi yang Indah.

68 8 0
                                    

Sat tengah malam, Kay terbangun dari tidurnya, ia merasa sangat haus. Saat matanya melirik pada nakas di sampingnya, tidak ada air. Ia melirik ke nakas dekat Deon pun kosong, hanya ada ponsel pria itu. Kay melirik pada Deon yang memunggunginya. Kay ingin membangunkan pria itu, tetapi ia tidak enak harus membangunkannya.

Kay dengan perlahan menyibak selimut dan berjalan ke arah sofa untuk mengambil jas milik Deon, ia keluar kamar dan lorong terlihat sangat sepi. Aula sudah cukup sepi, namun masih ada beberapa pria sedang menikmati alkohol bersama saudaranya yang lain.

Kay bertanya dimana letak dapur pada pelayan yang lewat di depannya. Dan pelayan itu memberi arah tanpa mengantarnya, ternyata dari ruang aula ke dapur cukup jauh. Akhirnya Kay hanya bisa menghela napas dan berjalan ke arah dapur.

Baru setengah jalan Kay berjalan melewati beberapa pintu yang entah isinya ruangan apa. Tiba-tiba di salah satu pintu yang tidak tertutup rapat, Kay mendengar keributan dua orang di dalamnya. Kay mendekat pada pintu dan percakapan itu mulai terdengar dengan jelas.

"Sudah ku katakan jangan mengurusi masa depan Deon!"

Kay melotot terkejut mendengar kalimat barusan, ia sampai menutup mulutnya.

"Aku punya hak untuk mengurus masa depannya, Mas! Karena aku adalah Ibunya!"

"Kau hanyalah Ibu sambung, apa kau lupa dengan pernjanjian kita sebelumnya? Biar ku perjelas Iswara, kau hanya mengurus Deon, bukan mengatur masa depan Deon!" kata Radean begitu tegas.

"Tidak, Mas! Aku berhak memilih pasangan untuk anakku! Pokonya aku tidak setuju Deon menikah dengan wanita miskin itu!"

"ISWARA!"

Kay mundur satu langkah saat mendengar bentakan Radean. Ia memilih mundur dan tidak ingin mendengar lebih jauh lagi. Matanya mulai memanas karena perkataan Iswara yang begitu tajam. Seakan ada pisau yang menusuk jantungnya. Kay berjalan gontai ke arah dapur, ia sekarang tidak dapat berpikir dengan jernih. Rasanya ia ingin kabur dari istana megah ini, ia ingin pergi ke pelukan keluarganya yang harmonis. Ia tidak ingin keberadaannya tidak dianggap di sini, itu sangat menyakitkan.

"Nona!" pelayan perempuan muda menopang bahu Kay yang mulai lemas.

Kay melirik pada pelayan perempuan itu kemudian tersenyum haru, "Terima kasih, bisakah kau membawaku ke kursi?"

"Ya, Nona." pelayan itu menggiring Kay pada kursi meja makan, di meja itu sudah tidak ada makanan yang bisa dimakan, yang ada hanya piring kotor. "Nona ingin sesuatu?"

"Aku hanya butuh air putih."

"Baik. Tunggu sebentar, Nona." pelayan itu pergi meninggalkan Kay yang termenung sendirian.

Setelah menunggu beberapa menit, pelayan perempuan itu kembali sambil membawa satu gelas air putih. "Ini airnya, Non."

"Terima kasih, tolong jangan panggil aku Nona. Namaku Kayyisa, panggil saja Kay." Kay meminum air itu dan pikirannya kini lebih tenang.

"Tapi, Nona 'kan sudah jadi bagian keluarga Brimantyo." pelayan itu menundukkan kepala karena tidak berani menatap Nona rumah.

"Aku belum menjadi bagian dari keluarga ini, bahkan di keluarga ini ada yang belum merestui aku untuk masuk di keluarganya, jadi kau boleh memanggilku hanya dengan nama saja. Siapa namamu?" Kay merenung dengan senyum lebar di bibirnya. Ia kembali memikirkan ucapan Iswara yang tadi.

"Nama saya Gladiva, Nona bisa memanggil saya dengan panggilan Diva."

"Berapa usiamu?"

"Saya baru menginjak dua puluh tahun, Nona."

RadeonWhere stories live. Discover now