[ 06 ]. When You Were 25

223 60 12
                                    

06. When You were 25

Who you kiss is not my problem. But who I want to kiss that you don't let me to, is my problem – m.r.(s)

Dari tempat duduknya saat ini di kantin parkiran B2 kantornya, Miruna memerhatikan Christoper dengan saksama. Lelaki berusian dua puluh lima tahun itu masih tampak sama di matanya seperti hari-hari sebelumnya. Hal berbeda apa yang begitu menarik dari wajah putih oriental Christoper yang hampir selalu dihiasi oleh kacamata silindernya? Atau mungkin sisi menarik Christoper ada di rambut hitam lebatnya yang tak pernah absen ditata dengan pomade setiap akan keluar rumah? Sepertinya bukan di kedua hal itu.

"Lo kesambet setan dari mana lagi, Runa? Tatapan lo kayak Dementor mau menghisap kebahagiaan gue," Christoper akhirnya menegur Miruna juga karena sudah lebih dari lima menit perempuan itu memberinya pandangan penuh selidik yang menyeramkan.

Dilihatnya Miruna menggelengkan kepala, "Oh, jadi lo lagi bahagia? Bahagia kenapa sih? Kok nggak cerita-cerita!" Miruna mengudarakan pertanyaannya.

Sudah paham dengan nada itu, Christoper sadar, Miruna sudah tahu hal-hal yang belum sempat Ia ceritakan. "Tahu dari siapa, Run? Zain?" Christoper berusaha terlihat santai sambil mengaduk mie ayam terenak seantero Provinsi DKI Jakarta yang saat ini menjadi menu makan siangnya. Dia dan Miruna sedang makan bersama di kantin parkiran B2 kantor mereka.

Miruna mengedikkan bahunya. Mie ayam yang ada di hadapan mereka saat ini memang lezat, namun jauh lebih lezat jika Christoper mau menceritakan kelanjutan kisah yang masih bersambung dari sisi Iota dan hingga saat ini belum ada kelanjutannya. "Gue tahu dari pelakunya langsung. Lo gila ya, Per?"

"Lo kali gila! Makan mie ayam lo, kalau nggak nanti gue yang makan!"

Dalam satu gerakan reflek, Miruna menggeser mangkok mie ayamnya mengarah lebih dekat ke arahnya. Posesif. "Kok manusia kayak Iota bisa mau sama lo, Per? Lo pakai jampe-jampe apa?"

"Iota manusia biasa, Run. Gue juga manusia biasa. Jadi kenapa nggak bisa?"

Miruna memutar bola matanya. "Gue setuju Iota manusia biasa. Elo mah bukan! Lo manusia jadi-jadian tahu nggak, sih?"

"Jadi ganteng? Jadi baik? Jadi charming?" Christoper meringis membayangkan hal-hal yang baik tentang dirinya sendiri.

"Narsis tuh salah satu gangguan kejiwaan loh, Per. Lo sehat, kan?"

"Kasih gue lima menit. Kita makan dengan tenang. Habis itu gue ceritakan sambil ngisap satu batang. Oke?"

Tak perlu memperpanjang negosiasi lagi, Miruna langsung menganggukkan kepalanya tanda setuju. Selama lima menit selanjutnya, mereka makan dengan tenang. Christoper mencoba menghabiskan makanannya dengan hati dag-dig-dug harus menceritakan tindakan serta keputusan gilanya pada Miruna. Sementara itu, Miruna mencoba dengan cepat menghabiskan mie ayamnya sebelum cerita dari Christoper nanti mengganggu proses makan siangnya. Entah nanti cerita itu akan membuatnya kehilangan selera makan atau justru semakin menambah nafsu makan. Dia sendiri belum bisa menebaknya.

"Gue udah kelar," Christoper memberi tahu hal retorik karena jelas Miruna bisa melihat mangkok Christoper sudah kosong. "Lo lanjut aja sambil makan. Toh gue sambil nyebat juga."

"Udah, cepat!" Miruna sudah tidak sabar meski kesal karena mie ayamnya masih tersisa lebih dari separuh dan kemungkinan besar fokus makannya akan terganggu. Namun, dia sudah tidak bisa menunggu lagi. Kantin B2 juga semakin penuh sesak dengan manusia sehingga sangat nggak mungkin mereka bisa lebih lama lagi berada di sini. Mereka berdua cukup tahu diri.

Christoper menyalakan satu batang rokoknya. "Gue suka banget sama Iota, Run. Dia tuh real banget. Bukan berarti cewek-cewek di sekitar gue nggak nyata, fake, atau hal-hal buruk lainnya, don't get me wrong. But, Iota di luar semua kemewahan yang mungkin bisa dia nikmati, bisa jadi begitu real dan nggak terbuai dengan itu semua. Dia bahkan nggak peduli sama bisnis dan keuangan, Run. Kebayang nggak sih lo?"

Amour #3 (Serial Bintara)Where stories live. Discover now