[ 03 ] Luncheon

230 66 8
                                    

03. Luncheon

That soup I ate on our first lunch was hot, but really, he was hotter – m.r.(s)

Pukul sebelas malam dan Miruna masih berkutat dengan laptopnya di kantor. Suasana kantor sudah mulai sepi mengingat hari sudah hampir berganti. Batas lembur orang-orang di grupnya paling mentok adalah di pukul sepuluh malam. Kasus-kasus khusus seperti Miruna saat ini tidak terlalu sering terjadi. Mata Miruna sudah memerah dan kepalanya sudah sangat pening.

"Kak," Miruna memanggil Juwita yang juga masih bekerja di hadapannya, "lo capek nggak sih? Gue nyesal deh tadi siang ngajak lo jajan minuman sama mutar-mutar toko buku terus nemenin Toper nyebat juga. Kalau tadi kita nggak main-main, mungkin jam sepuluh tadi kita udah kelar, ya?"

"Gue butuh jalan-jalan bentar sih tadi siang, Run. Ini memang deadline-nya aja yang agak kurang masuk akal. Zain udah kirim deck dan working paper dia belum, Run?" Juwita berhenti mengutak-atik angka di laptopnya sejenak untuk menjawab pertanyaan Miruna.

"Lo merasa nggak sih lo jadi lebih pemalas dan kurang produktif karena gue?" Miruna sekali lagi masih merasa bersalah karena sudah bermain-main di siang hari dan menghasilkan kerjaan yang belum selesai juga hingga malam hari.

Juwita menghela napas. "Lo ingat tadi kita muterin toko buku dan lama di depan gedung kantor bareng orang pada nyebat sama siapa? Sama Christoper teman lo yang hobi banget kerja dan kata orang di divisinya dia itu sangat amat produktif. Jadi, yang salah bukan kita jalan-jalan saat lagi butuh inspirasi tapi memang ekspektasi klien aja, Runa. Klien mengharapkan kita semua jadi manusia super kayak Chirstoper."

Mendengar itu, Miruna tertawa sebentar. "Lo nggak mau jadian sama Toper, Kak? Bibit bebet bobotnya Toper bagus, loh."

"Kenapa nggak lo aja yang jadian sama Toper? Kalian beda berapa tahun, sih?" Juwita kini memutuskan untuk mengobrol sambil tetap bekerja. Dia nggak ingin semakin lama terjebak di kantor hanya karena dia tidak mau mencoba melakukan yang namanya multitasking.

Sama seperti Juwita, Miruna juga terus mengobrol dengan tetap mengarahkan fokusnya ke latop yang sudah menampilkan beberapa laporan secara bersama-sama dengan membagi layar menjadi beberapa bagian. "Gue sama Toper beda dua tahun. Dia aslinya seumuran Abang gue, tapi jadinya lebih dekat sama gue. Eh, Abang gue malah lebih dekat sama adik laki-lakinya Toper, Kak. Aneh banget dunia. Mungkin gue sama adiknya Toper tuh putra-putri yang tertukar."

"Memang tanggal lahir kalian sama?"

Miruna menggelengkan kepala sambil menjawab, "Enggak."

"Dasar, absurd!" Juwita mendecak. "Eh, terus kenapa jadinya lo nggak jadian saja sama Toper?"

"Kan gue udah bilang tadi dia udah kayak kakak sendiri. Masa gue jadian sama kakak gue. Aneh banget."

"Di luar itu ada alasan lain?" Juwita terus menggali-gali tanpa Miruna sadari.

"Apa, ya?" Miruna menimbang-nimbang, "nggak ada sih karena nggak pernah kepikiran aja."

"Kepikiran apa?" Sebuah suara bergabung dalam pembicaraan nggak penting yang baru saja terjadi antara Juwita dan Miruna.

"Eh?!" Miruna terkejut karena Zain dengan badannya yang tegap dan terbalut kemeja biru muda yang sudah sangat berantakan ternyata sudah berdiri di samping kursinya. "Gue kira lo sudah balik, Zain?"

"Belum," jawab Zain singkat.

"Ada apa, Zain?" Pertanyaan dari Juwita menyelamatkan keduanya dari kecanggungan tanpa batas. Meski sudah dua minggu bekerja bersama, Miruna dan Juwita sependapat bahwa Zain memang bukan sosok manusia yang approachable.

Amour #3 (Serial Bintara)Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα