Part III

55.6K 2K 33
                                    




"Tenang saja, Ma. Ini bukan masalah besar. Hanya terkilir—yeah—kupikir aku akan memesan delivery makanan. Sudah dulu, nanti kuhubungi lagi." Aku  baru saja memutuskan panggilan telepon dari Mama di seberang sana.

"Kau baru saja menelepon orangtuamu? "

Aku terkejut setengah mati. Tahu-tahu saja Dean sudah berada di dalam rumahku. Aku sama sekali tidak mendengar langkah kakinya, atau bahkan suara pintu yang dibuka, "Bagaimana kau bisa masuk?" tanyaku.

"Pintunya tidak dikunci. Kau beruntung aku yang masuk, bagaimana kalau orang lain? Ingat..kau hanya sendirian. Kaki mu juga sedang dalam keadaan yang tidak baik."

Tunggu, apa dia sedang mengomeliku? "Oke, aku memang salah. Tapi kau tidak pelu mengoceh. Sudah cukup seharian ini aku mendengar omelan sana-sini," kataku, memandanginya. Sebenarnya aku belum puas membantah Dean. Dia mujur hari ini, aku sedang tidak mood.

Mataku tertuju pada kantong plastik yang ia bawa. Dari situ tercium harum makanan yang enak sekali. Dean mengikuti arah pandangku, lalu tertawa. Ia menaruh kantung itu di atas pangkuanku, "Kau lapar, kan?" Dean duduk di sebelahku. Menumpangkan salah satu kakinya ke kaki yang lain.

Aku menelan ludahku, "Sok tahu," kataku, gengsi.

"Yasudah kalau tak mau." Dean merampas bungkusan itu saat aku hendak membukanya.

Aku mencebik, "Ke marikan!" ku raih bungkusan itu lagi dari pegangan tangannya. Ku buka cepat-cepat. Hidungku seperti mencium harum masakan yang tidak asing. Benar saja, Dean membawakan mie cina dingin untukku. Lucky me! Aku suka sekali masakan Cina.

Aku melahap mie cina itu dengan semangat. Hampir melupakan kehadiran Dean yang masih betah di sampingku. Aku menyadari ia tengah mengamatiku, "Khau hmau?" sepasang sumpit bambu kusodorkan padanya, lalu dia tertawa. Entah menertawaiku yang berbicara padanya tanpa menelan terlebih dahulu makananku, atau mungkin hal lain, aku tidak tahu.

"Aku tidak butuh sumpit," jawabnya. Senyum bak pangeran mengembang di bibirnya yang tipis. Sejenak aku sempat terbuai sorakan Dewi Batinku yang terhipnotis senyumannya. Aku sempat terdiam beberapa saat sebelum logikaku berhasil merebut akal sehatku. Sayangnya, kecepatan syarafku untuk menyadari bahaya tidak berfungsi dengan baik. Tidak tahu sejak kapan, dan bagaimana, aku mendapati wajah Dean berada tepat di depan wajahku dengan hanya berjarak beberapa centimeter saja. Bibirnya menautkan sisi lain dari sulur mie yang sedang kumakan. Mengingatkanku akan salah satu adegan dari film animasi favorite-ku saat kecil, Lady Tramp.

Dean menghisap mie itu perlahan. Matanya terpejam. Semakin lama semakin dekat. Ketika tersisa jarak satu jari antara bibirku dan bibirnya, ia mmebuka matanya. Aku terpaku, mendadak pikiranku kosong.

"Kau ingin ku lanjutkan, atau tidak?" tanyanya.

Oh, Tuhan. Kenapa aku jadi tidak bisa berkutik seperti ini? Aku tahu dia sedang menggodaku, tapi—ada rasa lain yang menggelitik. "Kau tidak serius, kan?"

Dean menatapku dalam sebelum menjawa, "Menurutmu?" Perlahan ia kian mendekat. Aku menutup mataku rapat-rapat, pasrah, menunggu. Tidak terjadi apa-apa. 

"Pfft! Kau harus lihat bagaimana wajahmu saat ini."

Aku membuka mataku. Dean mengambil sumpit yang kupegang sekaligus mie cina yang belum habis kumakan. Ia mulai menghabiskan makananku yang masih tersisa banyak sembari menonton TV. Rasa kecewa mulai menyeruak di antara rasa syukurku. Astaga, apa-apaan ini?!

***

Love Game [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang