Chapter 2

73 16 10
                                    

Fakta bahwa Ian merasa sedikit terganggu akan tatapan perempuan di kafe itu jelas benar. Membalik lembaran naskah ke halaman sebelumnya, dan membaca ulang bagian yang missed. Ian merenung sejenak untuk kembali memahami isi naskah cerita yang akan dia perankan esok hari, bahunya disandarkan pada dashboard mobil yang terus bergerak menuju hotel yang disewa agensinya dan dia menghela napas.

Tangannya meraih ponsel, membuka laman media sosial yang begitu ramai atas komentar-komentar para fans dan mendecak kikuk karena tidak ada komentar menghibur demi menaikkan moodnya. Dia memilih untuk menyetel lagu dari ponsel dan mengatupkan mata.

"Apa itu mengganggumu, fakta ada yang menonton filmmu dan tidak menjadi penggemar?" kalimat perempuan itu membuat dia kesal setengah mati.

Ian yang sudah bekerja di industri hiburan dan begitu digemari merasa terhina akan pernyataan seorang perempuan yang baru saja dia temui beberapa jam lalu. Dia mendecak, begitupun manager yang menyupirinya. Pria di awal tiga puluhan dengan kacamata berbingkai itu melirik melalui spion depan.

"Kau bisa membakar seisi Gangneung jika terus memasang laser di matamu, Ian," ucap pria itu. Manager Park Eun-yo, yang menghentikan mobil saat lampu merah. Dia kembali melirik ke arah Ian yang memanyunkan bibirnya main-main.

Ian melemaskan otot-ototnya dan menggumam sembari berkata, "Hyung, apakah kamu pernah menonton semua film seorang aktor, tetapi tidak menggemarinya?" dia berhenti sebentar untuk mempertimbangkan kalimat lanjutan, kemudian memiringkan kepala. "Seperti, ketika kamu menonton film Rachel McAdams, bahkan saat di waktu debutnya. Dan film-film selanjutnya."

Sang manager menarik persneling. "Mungkin saja, aku menonton semua film Guillermo, tetapi tidak sampai menjadi penggemarnya dan hanya menikmati setiap karyanya saja. Itu membuatku memiliki perspektif. Kenapa kamu bertanya?"

Ian mendecak. "Bukan. Maksudku, aktornya—aktris yang memerankannya. Apakah itu masuk akal untuk tidak menggemari seorang aktor, padahal kamu menonton seluruh film yang dia perankan?"

"Kenapa kamu membentakku?! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya—tapi, ya, mungkin saja. Aku menonton karena plot dari cerita yang ditulis bagus. Dan bisa saja aku tidak menonton aktornya saja, tetapi juga sisi lain. Zaman sekarang, orang-orang juga lebih menyukai second lead, dibandingkan main lead. Kupikir, dia menonton filmmu kebetulan saja, karena ada aktor yang dia sukai dan bukan kamu."

Seolah dipermainkan dengan jawaban itu, Ian melemparkan kertas naskahnya ke sisi tubuh. Kemudian melipat tangan, menatap sinis ke arah sang manager yang tertawa pendek, mengoloknya seperti anak kecil yang merajuk. Wajah Ian memang menggemaskan, jauh daripada karakter-karakter yang dia mainkan. Pemuda itu bisa jauh berbeda di balik kamera, tidak ada sisi cool seperti yang sering dia persembahkan, sisi yang hanya dilihat oleh teman-teman terdekatnya saja.

Mungkin, karena awalnya Ian sempat mengalami star syndrome di awal debut panasnya. Dia menjadi sedikit egois dan bisa sangat emosional, melihat Ian yang sekarang, sang manager jadi lebih mudah untuk mengusilinya dengan berkata seperti barusan. Memahami kalau kadang, Jeon muda sulit untuk menerima kenyataan ada orang yang tidak menyukainya.

Mobil berhenti tepat di depan lobby dengan Ian keluar bersama managernya, memberikan kunci kepada parkir valet dan memasuki kamar mereka. Eun-yo memeriksa perlengkapan Ian yang melepaskan sepatu di sofa. "Jangan minum obat tidur malam ini. Aku sudah meminta staf membawakanmu teh kamomil dan aromaterapi. Tidurlah dengan nyenyak."

"Ya."

"Jangan tidur malam dan dengarkan aku. Kau dengar?"

"Hm."

Monokrom, Slow Update Where stories live. Discover now