Chapter 3

57 14 5
                                    

Malam itu bulan tampak separuh tersenyum. Gemintang sedikit mengelilinginya. Udara dingin menyeruak menyentuh permukan kulit Rain yang masih duduk di meja belajar sembari menatap lautan. Terasa begitu hangat dan tenang, sudah lama sekali dia tidak menikmati pemandangan ini sejak beberapa tahun lalu. Melihat lautan di malam hari adalah apa yang selalu dia tulis dalam buku harian, juga bulan. Dia tidak begitu sering melihat bulan saat kakinya menjejak daratan asing selama hidup, tetapi para pujangga yang patah hati maupun jatuh cinta terus melukiskan rembulan sebagai kiasan.

Kini, dia agak sedikit memaklumi mengapa para pujangga yang haus akan cinta itu mendamba bulan. Dia begitu indah, seperti bunga yang baru mekar—tersenyum lembut menandakan kemurnian abadi.

Bersama dengan gesekan cello yang digaungkan music playernya, Hauser menemani malam yang hangat ini. Tangannya memainkan pulpen. Ada kertas partiture juga, sejenak terabai sebab dia tengah mengamati bulan yang tersenyum elok. Bibirnya mengulas senyuman tipis, kemudian menghela napas ketika ingatannya tertuju kepada sosok yang begitu angkuh tiba-tiba menerobos masuk tanpa persetujuan.

Ian Jeon, si bukan kebetulan.

Setelah beberapa detik membuang kabut wajah Ian, dia menjentikkan pulpen yang terpental di meja. Tidak sengaja membangunkan Hana—teman sekamarnya yang terkejut karena bunyi rendah itu, suara gumaman terdengar, diikuti dengan uapan panjang. Hana meregangkan otot-ototnya hingga pandangannya menemukan Rain masih termenung.

"Kamu masih bangun?" tanya Hana menjadikan kepala Rain menoleh, perempuan berambut panjang yang diikat rendah itu mengangguk. "Tidurlah cepat, Rain. Anak manis biasanya didatangi bidadari dalam mimpinya."

Rain tersenyum mendengar kalimat itu. Dia menyandar pada kursi, tubuhnya diputar untuk menghadap ke arah Hana yang menarik selimutnya. "Kamu mau jalan-jalan?"

"Ini sudah hampir tengah malam. Kamu tahu bidadari tidak ada di sana sepanjang hari," jawab Hana dengan malas. Lebih terdengar seperti gerutuan, sebab detik selanjutnya dia sudah bernapas pelan, hanyut dalam tidur yang lama.

Namun Rain menggeleng, dia tahu ini sudah tengah malam. Bahkan dia sudah menandai waktu sejak beberapa menit lalu. Karena itulah istimewanya malam, kenapa semua orang mengabaikan suasana yang menyejukkan ini? Setiap ketenangan berada di malam hari, bersama bintang, debur ombak, bulan senyum, kemudian lagu-lagu alam. Katanya, alam bernyanyi kepada siapapun yang mendengarkan.

Rain mengatupkan matanya, menajamkan rungu untuk menikmati setiap music yang diberikan alam. Jiwanya yang letih terasa meluruh, meleleh seperti mentega yang dipanaskan di atas panci. Musik alam—piano, Martin Jones, dia menghela napas. Tidak kata-kata yang bisa menafsirkan perasaan nyaman ketika kamu mampu melampau batas kewarasan dan masuk ke alam bawah sadar.

Jantung Rain berdetak lembut.

Usainya, dia beranjak dari duduk untuk berbaring di atas ranjang. Bunyi piano itu kian mengeras, menguatkan detakan jantung yang berdentam—terlalu keras, bertalu-talu.

"Kamu pianis?"

Suara Ian tiba-tiba merasuk seperti hantu dan dia tidak lagi terbangun hingga matahari mengetuk pagi.

**

"Mungkin dia hanya iseng tidak mengenalimu. Ada banyak sekali penggemar melakukan itu," kata Adam duduk di nook reading kamar Sho. Ian yang berada di sana dengan segelas wiski mendecak pendek. Sementara Sho menyibukkan diri dengan ponsel semenjak dua sahabatnya sudah menyabotase seisi kamar tanpa persetujuan bersurat. Kemudian Adam melanjutkan, "Aku juga pernah menemukan beberapa orang tidak mengenaliku ketika berlibur di Hawai. Namun saat aku kembali, mereka semua tahu aku berada di sana. Bahkan laman media social dipenuhi dengan rasa terimakasihku karena mereka memberikan ruang privat untuk aku bersenang-senang."

Monokrom, Slow Update Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang