17. Begundal Tampan

2.7K 612 28
                                    

Met pagi!

Cekidot.

BAGIAN TUJUH BELAS: BEGUNDAL TAMPAN

Usianya dua puluh lima tahun, lebih muda dari Diana. Cara bicaranya begitu teratur, tidak terlihat sakit jiwa atau terganggu sama sekali. Namanya Nining atau Ning, manis, santun dalam bersikap, dan selalu berpenampilan tertutup. Aneh rasanya, mengetahui dia ada di rumah sakit jiwa ini karena menusuk orang.

"Mbak Ning sudah tahu dari Mbak Deborah kalau saya akan mengambil gambar Mbak Ning juga?" tanya Diana hati-hati. "Mas ini akan mengambil gambar dengan kamera, ya?"

Ning mengangguk. "Ya, tidak masalah. Tapi tolong dipakai dengan bijak. Saya tidak mau foto saya ada di sembarangan tempat, tidak baik," jawabnya.

Diana ikut mengangguk. "Tentu. Bisa kita mulai sekarang?" Dia meletakkan ponselnya dan siap merekam, sementara Bejo juga sudah mulai merekam gambar Ning di kameranya.

*****

Ning tinggal di rumah bibinya sejak berusia lima belas tahun. Tugasnya adalah membantu sepupunya yang lebih muda untuk belajar dan juga membantu sang bibi mengatur rumah tangga. Keluarga sang bibi membayar uang sekolah dan kuliahnya, juga memasukkannya ke salah satu perusahaan yang dimiliki suami bibinya saat dia lulus, membuat dia dan keluarganya makin banyak berutang budi.

Itulah sebabnya, saat sang paman alias suami bibinya mulai melecehkan Ning di usia tujuh belas, dia tidak mampu mengatakan kepada siapa pun. Jangankan bicara, Ning malah menganggap kalau dia yang bersalah karena telah memancing pamannya. Dia mulai berpakaian lebih tertutup untuk menjaga diri, bicara seperlunya, dan menjaga jarak sejauh mungkin dari pria itu. Namun, menghindarinya adalah hal yang tidak mungkin karena dia tinggal di rumah yang sama. Pelecehan pun terulang, sang paman tidak henti mengatakan kalau Ning yang memprovokasinya. Sebagai laki-laki, sudah kodratnya untuk tidak mampu menahan nafsu, jadi seharusnya Ning yang menjaga diri dengan baik. Lebih parahnya lagi, sang paman memaksa Ning mengakui kalau dia pun menyukai saat disentuh, dan bersikap munafik saat menolak.

Diana mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ning dengan perasaan miris. Sampai akhirnya selesai dengan ceritanya pun, gadis itu masih bertahan dengan pendapat kalau dirinyalah yang bersalah. Sebagai perempuan dia kurang mampu menjaga diri, dan bukan salah laki-laki kalau mereka melecehkan perempuan. Di ujung sesi wawancara, gadis itu malah sempat menasihati Diana sambil tersenyum lembut.

"Mbak Diana kan bekerja dengan banyak laki-laki di dunia Mbak, akan jauh lebih baik kalau berpakaian lebih tertutup dari ini supaya Mbak tidak mengalami pelecehan. Belajar dari kasus saya, perempuan itu memang sangat diharuskan menjaga diri sendiri. Jangan ceroboh seperti saya," katanya sambil berdiri dan meninggalkan ruangan untuk kembali ke kamarnya.

Beberapa saat Diana termangu sambil mengepalkan tangan dan menggigit bibir. Rasanya sakit melihat kaumnya yang mengalami kejadian seperti itu, apalagi sampai dicuci otak dan mengira kalau apa yang terjadi kepadanya adalah kesalahannya sendiri.

"Gue enggak mikir gitu, ya, Di. Pelaku pelecehan siapa pun itu adalah pihak bersalah, bukan korbannya," kata Bejo, yang ikut merasa geram.

Diana terkekeh. "Gue tahu, Jo," sahutnya. "Gak perlu klarifikasi, deh, lo."

Bejo mengembuskan napas keras. "Ya ... gue takut aja lo sampe diskusi soal ini sama Ora, dan tetiba dia melototin gue. Serem banget, sumpah."

Tawa Diana terlepas. "Cemen, lo. Yuks." Dia membereskan ponsel dan bukunya, lalu bangkit dan berjalan lebih dulu diikuti Bejo. Ramah, dia mengangguk kepada petugas yang membukakan pintu bagi mereka.

"Ke mana lagi kita?" tanya Bejo. "Gue yang nyetir deh."

"Kantor langsung," jawab Diana."Gue harus nulis artikel soal Ning dan juga kasus suap seksual itu untuk diajuin ke chief."

Diana, Sang Pemburu BadaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang