47. Saran Lena

1.4K 392 18
                                    

Met Rabu sore!

Ujan deres di sini, eike capek harus ngurusin banjiran dan bocoran di sini, beuh.

Biar lebih semangat, apdet Diana dulu, deh.

Pengingat penting, mulai minggu depan podcast Winnyraca udah mulai lagi, ya. Konsepnya kayak audio book, dan naratornya ... eike! Mau didongengin, kan? Cuss ... klik tombol ijo di bawah cerita ini, minggu depan tapi.

Now, enjoy.

BAGIAN EMPAT PULUH TUJUH: SARAN LENA

“Alma, apakah hari ini saya ada waktu senggang sekitar dua jam?” tanya Berto kepada sekretaris di ujung telepon satunya.

“Setelah pukul dua Bapak sudah tidak ada jadwal, Pak,” jawab Alma, sang sekretaris.

Berto tercenung sebentar. “Baik. Saya akan keluar sekitar jam segitu, mungkin tidak kembali ke kantor. Kalau Pak Rahmat tanya, bilang, saya pergi dengan istri.”

“Baik, Pak.”

Berto spontan mengangguk, lalu menaruh gagang teleponnya. Untuk beberapa saat dia tercenung, jemarinya mengetukkan irama teratur di kayu meja, sementara satu tangannya menopang pelipisnya. Benaknya berkelana pada percakapan tadi pagi dengan Lena, percakapan yang membuatnya terus merasa sudah menjadi manusia paling berengsek dan tidak tahu diri.

Dia tahu, apa yang disampaikannya membuat Lena gusar, bukan hanya marah, tapi juga terhina. Namun, dia tertegun dan kehilangan kata, setelah beberapa saat terdiam, Lena mengangguk dan menatapnya tanpa ragu.

“Oke, gue bantu lo,” katanya, tenang.

Berto melongo. Semula, dia mengira kalau Lena tidak akan semudah itu menyetujui permintaan tolongnya. Istri sekaligus sahabatnya itu adalah wanita cerdas, dengan harga diri yang tinggi. Seharusnya, dia mempertimbangkan banyak hal sebelum menyetujui permintaan Berto. Bahkan Berto sendiri berpikir, kalau kemungkinan Lena menolak justru lebih besar dari sebaliknya.

“Uhm … kamu mau bantu aku?” tanyanya ragu, setelah sempat tersesat dalam berbagai pertanyaan di benaknya.

Lena mengangguk. “Kenapa? Lo pikir gue akan menolak?”

“Uhm ….”

“Karena tadinya lo pikir, gue pasti tahu, kalau lo minta begini bukan karena mikirin pernikahan kita, tapi karena mau melindungi mantan lo, kan? Lo enggak mau dia lebih terluka, dan lo juga enggak mau semakin dibenci sama dia kalau ketahuan ngejebak dia, iya, kan?”

Pertanyaan sinis Lena yang menjabarkan alasan sebenarnya yang dia punya, membuat Berto kembali terdiam.

Lena tersenyum dingin, tapi ada luka teramat dalam di sorot matanya. “Enggak usah bingung, kali. Gue enggak ngerjain ini buat lo, apalagi buat mantan lo. Gue akan bantu lo karena gue enggak mau dianggap bego, dan juga, gue enggak mau terima tatapan kasihan tapi juga nyukurin dari orang-orang,” akunya.

Berto terdiam sejenak, sebelum kemudian menatap penuh tanya. “Maksud kamu…?”

Lena mengangkat bahu. “Di awal, orang akan nyalahin mantan lo, terus lo, dan mereka akan kasihan sama gue. Tapi enggak lama, akan ada yang bilang, gue sendiri yang bikin lo selingkuh, karena siapa pun tahu, gue bukan jenis perempuan sempurna untuk jadi istri. Mereka akan bilang gue sombong, dingin, atau apalah itu. Well … begitu, kan, yang berlaku di negara ini? Siapa pun yang salah dalam sebuah perselingkuhan, yang disorot adalah perempuan. Si selingkuhan, dan istri sah. Seolah-olah, perselingkuhan itu adalah duel pribadi antara istri sah dan pelakor, enggak ada suami yang salah.”

Berto menelan ludah. “Uhm … kamu jauh juga mikirnya.”

Lena tersenyum miring. “Lo tahu, kan, itu betul?”

Diana, Sang Pemburu BadaiWhere stories live. Discover now