39. Berhadapan Dengan Bram

1.6K 434 39
                                    

Met hari Rabu!

Untuk para penunggu setia, eike tepatin janji apdet, nih, Senin dan Rabu. Jangan lupa vote dan komen, ya.

Mau ngingetin juga, mulai awal Mei nanti eike bakal jadi pendongeng buat kalian di podcast punya Wattpad dan Spotify. Di mana? Ya di Spotify. Yang mau denger cerita terbaru yang cuma ada versi audionya, jangan lupa mampir di podcast Winnyraca.

Buat yang penasaran soal podcast eike, cuss, klik icon Spotify tuh, di bawah cerita ini.

For now, enjoy.

BAGIAN TIGA PULUH SEMBILAN: BERHADAPAN DENGAN BRAM

“Jadi, kapan kamu mau jelasin?”

Tyo mengerutkan kening mendengar pertanyaan Diana yang tiba-tiba. “Jelasin apa?”

Diana menoleh dan menatap Tyo dengan cara yang disengaja untuk membuatnya merasa tertuduh. “Soal kenapa kamu jaga jarak dari aku? Apa aku bikin salah? Atau, kamu mendadak insecure karena sadar aku terlalu cantik buat kamu?”

Bibir Tyo menipis. “Hm,” gumamnya. Dia memandang ke kejauhan. “Kamu akan menemui salah satu orang paling penting dalam politik di Indonesia, dan butuh persiapan mental serta konsentrasi penuh. Bagaimana kalau kita bicara nanti malam saja?”

“Enggak. Aku orang yang enggak akan bisa kerja kalau di otakku masih ada yang ganjel. Jadi, daripada pekerjaanku berantakan dan kamu harus tanggung jawab, mendingan kamu ngomong sekarang,” tukas Diana, tegas.

Tyo meremas roda kemudi dengan gelisah. Bibirnya yang tipis makin menipis, dan mata tajamnya menyipit, terlihat berpikir keras. Lama-lama Diana merasa gemas dan mengulurkan tangannya lalu mencubit pinggang kekasihnya yang langsung terlonjak kegelian.

“Didi!”

“Kalo enggak ngomong, aku kelitikin kamu sampek kencing di celana, mau?” ancam Diana, sadis. Tangannya terangkat, siap melakukan ancamannya.

Tyo menahan tangannya sambil memberikan tatapan memohon. “Oke. Aku akan jawab singkat saja, ya? Jangan gelitik aku, tolong, aku bisa betul-betul kencing di celana, Di.”

“Ya sudah, ngomong.” Diana menarik tangannya. Dalam hati ingin tertawa membayangkan pria seseram Tyo bisa kencing di celana karena kegelian.

Tyo menghela napas, lalu mengucapkan ganjalan di hatinya dengan jujur. “Aku cemburu pada semua laki-laki seram, sangar, dan asing, juga seksi, yang pernah, sedang, atau akan kamu temui di masa depan, Di. Aku benci menyadari kalau aku enggak akan pernah jadi satu-satunya objek fantasi seks kamu.”

Diana termangu. Waduh … kenapa Tyo bicara blak-blakan begitu? Apa alasannya?

Saat itu Tyo menatapnya, dan tersenyum pahit. “Kamu sudah tahu alasannya, kan? Sekarang, boleh aku menjaga jarak sebentar? Aku butuh melarikan diri untuk meredakan perasaan malu karena jadi laki-laki yang kelewat perasa.”

Diana mengerjap lambat. Benaknya mendadak kosong, tidak tahu harus bicara apa karena sepertinya Tyo memang serius dengan pengakuannya. “Uhm ….”

“Aku janji, aku akan mengosongkan perasaanku nanti kalau ketemu kamu lagi. Aku cuma butuh untuk menjaga jarak sekarang dari kamu.”

Sedikit serba salah, Diana mengangguk. Dia meraih handel pintu dan hendak keluar, tetapi, sebuah pikiran mendadak melintas. Dia membatalkan niatnya dan menoleh, memandang Tyo sambil tersenyum lembut.

“Aku rasa, aku udah bikin salah banget, kan? Mulutku yang sering sembarangan ngomong, pasti nyinggung kamu. Aku lupa udah ngomong apa, tapi, maaf ya, Tyo. Kamu bener, mendingan kita ngomong lebih banyak nanti. Untuk sekarang, aku boleh kan minta sesuatu dari kamu?” katanya, penuh harap.

Diana, Sang Pemburu BadaiOnde histórias criam vida. Descubra agora