15.

706 135 6
                                    

Gue ingin bertanya mengenai seberapa jauh hubungan persahabatan Yiraga dengan Rayhan, dan satu-satunya orang yang menurut gue cocok untuk menjawab pertanyaan ini, tidak lain dan tidak bukan ialah Khairi. Selain instingnya yang tidak setajam Affan, Khairi juga calon suami sahabat gue, jika ia berasumsi macam-macam, tentu Kiky akan dengan mudah membantu gue untuk menepis semua kecurigaannya. Sayang keinginan hanyalah sebatas niat yang tidak kesampaian. Nyatanya Khairi hari ini izin dari kantor untuk mengurus pesta pernikahannya yang sebentar lagi akan dihelat. Tekad gue yang sudah kukuh dihempas begitu saja, layaknya buih di lautan.

Opsi lain adalah bertanya pada Affan, namun hal itu sama saja dengan menggali liang kubur sendiri. Tatapan penuh kecurigaan yang ia layangkan kemarin belumlah hilang dari benak gue. Bahkan saat ini gue berasumsi bahwa Affan telah mengetahui bahwa ada sesuatu di antara gue dan Rayhan.

"Lo ngga pulang Git?" tanya Rizka keheranan. Tangannya bergerak untuk merapikan charger dan ponsel ke dalam tas, bersiap untuk pulang.

"Masih ada beberapa file yang harus gue kerjain, kalian duluan aja," ucap gue mencoba bersikap senormal mungkin. Gue sengaja memundurkan jadwal pulang dari pukul lima sore ke tujuh malam untuk bertemu dengan Rayhan.

Pergi dengan Rayhan di saat puncak padatnya karyawan pulang kerja merupakan ide buruk. Pasti akan ada banyak gosip dan asumsi miring tentang gue nantinya. Setidaknya gue harus mempertahankan reputasi yang sudah cukup tercoreng akibat perkelahian antara Yiraga dan Januar kemarin, selentingan kabar tak menyenangkan dari kantor cabang sudah mulai bergaung hingga ke kantor pusat, menjadi buah bibir sungguhlah tidak menyenangkan.

"Kalau begitu kita duluan ya!" Pamit Mail, ruangan segera berubah menjadi sunyi selepas kepergian rekan-rekan satu tim gue, tidak ada Khairi membuat mereka memanfaatkan situasi untuk pulang tepat waktu. Di luar ruangan gue hanya sisa beberapa karyawan lembur dari divisi lain yang berlalu lalang.

Gue mendudukkan diri di kursi dan bersandar, merenungkan tentang bagaimana cara menghadapi Rayhan nanti. Sepertinya menginterupsi pembicaraan dan memutuskan secara sepihak begitu saja seperti kemarin tidak akan berhasil. Buktinya Rayhan tetap bersikukuh untuk mengajak bertemu hari ini.

Mendengarkan semua penjelasannya untuk mengikis rasa penyesalan yang ia rasakan terdengar cukup baik dan logis. Mungkin setelah ia lega mengungkapan segalanya secara langsung, Rayhan akan menyadari situasi saat ini dan menuntaskan segalanya.

Tapi bagaimana kalau lo luluh Brigita?

Gue menggelengkan kepala keras untuk menepis pikiran yang baru saja melintas. Gue tidak boleh luluh, dan tidak akan luluh. Sebaik apa pun tujuan Rayhan untuk pergi, ia melakukannya tanpa penjelasan. Hubungan ini telah berakhir di saat Rayhan memilih untuk pergi tanpa sebait pesan pun. Yiraga adalah pria terbaik untuk gue.

Pintu ruangan yang terbuka membuat gue terkesiap kaget, Januar masuk ke dalam ruangan, dari penampilannya yang sedikit acak-acakan ia pasti baru saja kembali dari kantor cabang. Tadi pagi ia pergi bersama Jihan, saat gadis itu pasti memilih untuk langsung pulang dan berkencan begitu menyelesaikan pekerjaannya. Sedangkan Januar, apa yang ia lakukan di sini?

"Lo nggak pulang?" tanya gue dengan spontan.

Januar menggeleng. "Khairi minta report cabang Kayu Besar Utama besok pagi di mejanya, harus gue selesaiin malam ini."

Gue mengangguk singkat, mencoba bersikap tenang meski dalam hati merutuki situasi. Bisa-bisanya beban pikiran gue ditambahkan lagi dengan kehadiran Januar yang tidak diharapkan sama sekali. Ini pertamakalinya kami hanya berdua saja pasca kejadian prank ketiga adik Yiraga saat itu.

Pandangan Januar terlihat sedikit tidak fokus, kedua alisnya berkerut dalam. "Lo sendiri?" Januar balik bertanya.

"Ada beberapa file yang harus gue selesaiin," jawab gue mencontek jawaban percakapan dengan Rizka sebelumnya.

Nikah?Where stories live. Discover now