06

6.2K 877 54
                                    

"Kamu tau dengan pasti harapanku Git, tapi sesuai janjiku, aku nggak akan melarangmu untuk bekerja," ujar Yiraga.

Jawaban Yiraga seakan menggantung, tidak membuat hati ini merasa lega. Dari kalimatnya jelas tersirat bahwa ia menginginkan gue untuk sepenuhnya mengurus rumah tangga. Sungguh, gue ingin memberikan yang terbaik yang ada di diri gue padanya. Namun perkara tidak bekerja lagi rasanya begitu berat untuk dijalani.

Selain karena rutinitas yang akan terasa kosong, pergaulan dengan teman pun menjadi kekhawatiran tersendiri. Kekhawatiran akan rasa sepi menyergap dengan hebatnya.

Keesokan hari gue menceritakan hal ini kepada Rizka yang paling dewasa di antara dua sahabat gue yang lainnya.

"Apa yang membuat lo berat untuk nggak kerja lagi Git?" Pertanyaan itu menguar dari bibir Rizka setelah mendengar rangkaian kisah kemarin.

Gue terdiam, berpikir keras untuk mengolah kata yang tepat dalam menjelaskan. "Bisa dibilang ini zona nyaman gue, beraktivitas seharian, berinteraksi dengan temen kantor. Hal itu nggak akan gue dapatkan kalau gue ada di rumah."

"Ya, benar memang itu Git. Tapi nanti lo akan punya aktivitas lain untuk menghabiskan waktu lo juga kok, kayak ngurus rumah, masak buat suami lo, dan hal-hal lainnya. Perkara bergaul jangka panjangnya nanti lo akan dapet temen baru, mulai dari tetangga, orangtua temen sekolah anak lo."

Gue membenarkan ucapan Rizka dalam hati, jawabannya memang ada benarnya. "Kemarin gue akhirnya ngomong gini sama Aga,"

"Ngomong apa?" Rizka segera menyahut.

"Gue akan tetap bekerja sampai gue hamil. Setelah hamil gue baru akan memutuskan langkah selanjutnya."

"Jawaban yang cukup bijak," timpal Rizka. "Karena kata kakak ipar gue, pola pikirnya setelah menikah sedikit berbeda. Dulu dia yang mati-matian ngotot ingin jadi wanita karier, sekarang banting setir jadi ibu rumah tangga sepenuhnya."

"Oh ya? Karena?"

"Kakak ipar gue bilang kalau kita sebagai perempuan ada masalah di dalam hubungannya, contohnya saja dalam berumah tangga, produktifitas kerja mereka cenderung terganggu. Sementara untuk laki-laki sebaliknya. Jika ada masalah dalam pekerjaan, kualitas hubungannya yang cenderung terganggu."

"Ah, sedikit banyak paham sih gue maksud kakak ipar lo. Aga emang kalau ada masalah di kantor suka diem aja kalau ketemu gue, bikin mati gaya dan susah untuk komunikasi, ngerasa serba salah gue kayak Raisa."

"Nah, itu lah Git. Menurut gue sekarang jalani aja apa yang ada di depan mata. Nggak usah terlampau khawatir sama hal yang kayak gitu. Was-was sih pasti ada, namanya juga godaan calon pengantin, ini mah belum seberapa dibanding kakak sama kakak ipar gue."

"Oh ya? emang masalah mereka dulu apa?"

"Mantan kakak gue yang udah kelarin studinya di Jepang balik, dan kakak ipar gue mendadak dideketin banyak lelaki di kantornya."

"Terus gimana?"

"Terus--"

"Brigita, Rizka ini jam kerja, bukan jam hangout," sindir Khairi yang baru saja melewati meja kami selepas menyelesaikan urusannya di toilet, membuat gue dan Rizka serempak membubarkan diri dan kembali tenggelam untuk mengerjakan tugas masing-masing.

***

Jam pulang kantor sudah terlewati dua jam yang lalu, sehingga menyisakan segelintir orang yang lembur atau mengerjakan beberapa urusan pekerjaan mereka.

Ilham dan Januar masih sibuk mengetik keyboard mereka untuk menyelesaikan pekerjaan. Sebetulnya gue tidak lembur, hanya saja Aga meminta gue untuk menunggunya di kantor agar kami bisa makan malam bersama sepulang dari menjemput gue.

Nikah?Where stories live. Discover now