16.

673 144 12
                                    

"Tadi Affan ngomonga apa?" tanya Rayhan begitu memastikan gue memakai sabuk pengaman dan mobil mulai jalan ke luar gedung kantor.

"Beberapa urusan pekerjaan," dusta gue penuh pertimbangan, mengatakan hal sejujurnya pada Rayhan saat ini sepertinya tidaklah bijak.

Sepanjang perjalanan gue memilih diam bila Rayhan tidak bertanya, memikirkan rangkaian kata yang mungkin bisa gue gunakan untuk pembicaraan inti bersama Rayhan kelak.

"Kamu udah makan malem?" tanya Rayhan. Gue menggeleng, memberitahunya bahwa perut ini belum terisi apa pun sejak tadi siang. Pertemuan dengan Januar yang menguras energi juga mental ternyata membuat rasa lapar di dalam perut semakin menggelora.

"Aku akan bawa kamu ke tempat yang pasti kamu suka," ucap Rayhan. Mobil pun berjalan menyusuri padatnya ibu kota. Malam sudah semakin larut, tapi kondisi jalanan tetap saja padat, menyadarkan gue akan waktu yang terus berjalan, tidak diam di tempat.

Mobil berhenti, Rayhan membawa gue ke tempat kencan pertama kami, seolah menelusuri wisata masa lalu, ini terlalu mudah ditebak. Sejak awal gue mengetahui bahwa ia akan membawa gue ke sini.

"Ingat kita makan sepiring nasi goreng berdua di sini karena kamu mau beli banyak jajanan di pusat kuliner di ujung jalan?" tanyanya dengan antusias. "Aku masih ingat dessert kesukaan kamu di sini."

Memilih untuk tidak berkomentar, gue mengikuti langkahnya untuk masuk ke dalam rumah makan. Rayhan memesan semua menu yang biasa gue pesan dulu, tanpa kurang satu apa pun.

"Aku cukup takjub kamu masih ingat semuanya," ucap gue tulus. Bahkan sejak tiga tahun berlalu ia masih hapal betul bagaimana menu pesanan gue, nasi goreng dengan telur dadar tanpa garam, ditaburi kol mentah di atasnya dan juga tomat segar, segelas teh manis dengan sedikit es, dan juga dessert vanilla treasure tanpa boba dengan tambahan toping es krim matcha dan juga mochi.

"Kamu nggak tahu berapa lama aku udah menantikan momen kayak gini selama aku di offshore, setiap hari, sepanjang waktu yang buat aku bertahan selain orang tua aku ya momen-momen kebersamaan kita," ucap Rayhan dengan senyuman lebar. Tangannya meraih jemari gue, di mana cincin pertunangan gue dengan Yiraga bertengger dengan pongah, mengingatkan gue akan tujuan gue berada di sini.

"Rayhan... "

"Pesanannya Kak," seorang pramusaji menginterupsi, Rayhan melepaskan genggaman tangannya dan membantu sang pramusaji untuk merapikan makanan di atas meja.

Gue memejamkan mata. Kita selesaikan semuanya setelah makan...

"Aku bisa bawa kamu ke tempat yang jauh lebih baik dan layak dari ini, dengan penghasilan aku yang sekarang. Aku bukan mahasiswa yang nggak berpenghasilan kayak enam tahun yang lalu. Tapi buat aku tempat ini sangat spesial dan berkesan, aku harap kamu nggak keberatan."

"Aku sama sekali nggak keberatan, aku udah lama juga nggak ke sini," lebih tepatnya nggak mau pergi ke sini setelah kamu pergi. Tempat ini selalu identik dengan kamu di benak aku.

Menu yang kami pesan kembali berdatangan, saat semuanya sudah lengkap, Rayhan mempersilakan gue untuk mulai menikmati hidangan yang dulu selalu menjadi kesukaan kami. Setelah selesai menghabiskan hidangan utama dan menyisakan hidangan penutup, Rayhan kembali angkat suara. "Mungkin ini sedikit telat karena kemarin aku lebih sibuk menjelaskan, tapi aku ingin tahu bagaimana keadaan kamu setelah aku pergi?" ia bertanya dengan gugup.

Gue tersenyum masam, ini bukan sedikit telat, namun sangat telat. Tapi gue menghargai usaha Rayhan yang ingin mendengarkan kisah dari sudut pandang gue.

"Hal yang pertama aku lakukan setelah kamu pergi tanpa kabar tentunya menghubungi kamu. Ponsel kamu nggak aktif, beserta seluruh sosial media yang kamu punya."

Nikah?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang