16. Who's Afraid of Little Old Me?

55 13 4
                                    

Saat masih kecil, kepulangan Mama dari tempat kerja jadi waktu yang paling Juno tunggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat masih kecil, kepulangan Mama dari tempat kerja jadi waktu yang paling Juno tunggu. Hari libur Mama adalah momentum yang akan selalu dia tanyakan setiap minggunya. Namun, menginjak dewasa, pertemuan dengan Mama nggak lagi jadi kegiatan yang paling Juno nanti-nantikan. Rasa-rasanya dia selalu ingin mencari seribu satu cara agar nggak bersitatap dengan wanita yang mengandungnya selama sembilan bulan itu.

Delikan tajam Mama menjadi hal yang paling dia hindari. Juno dibuat langsung mengingat dosa-dosa serta kesalahan yang telah dia perbuat selama dua puluh empat tahun hidup di dunia ini. Kuliah belum selesai, pekerjaan yang kurang sattle, dan sekarang mengurus seorang bayi tujuh bulan yang dia temukan di depan gerbang kos—kalau bukan bencana, apa lagi namanya?

"Juno bisa jelasin—"

"Apa yang mau kamu jelasin?" Mama memotong cepat. "Kamu mau Mama dengar apa tentang anak itu?"

Mama bahkan nggak mengerahkan sedikit pun perhatian pada Rey yang tertidur dalam gendongan Dera di dalam sana. Detik di mana Mama mengetahui keberadaan 'Rey', Juno sudah tahu pikiran Mama melanglang buana. Juno berharap balkon berukuran setengah petak ini mampu meredam perbincangan di antara dirinya dan Mama. Firasat Juno berkata ini nggak akan bisa dibicarakan baik-baik.

"Mama nggak tahu ya, Ju, Mama bikin dosa apa sampai kamu jadi kayak gini. Dari dulu Mama kerja mati-matian buat hidupin kamu, biar kamu enggak kesusahan. Tapi balasan kamu nggak pernah sekalipun bikin hati Mama senang..." Mama berbicara dengan janggut yang sedikit gemetar, seolah menahan seluruh luapan emosi.

"Ma, Demi Tuhan, Rey bukan anak Juju." Juno tetap berusaha menjelaskan asal mula bagaimana dia harus mengurus Rey bersama Dera yang merupakan tetangga kosnya. "Dia ditinggal orang tuanya dan Juno sama Dera cuma mau bantu urus dia—"

"Kamu pikir Mama bisa kamu bohongin? Kalau dia bukan anak kamu, ngapain kamu urus dia? Kamu ngurus diri sendiri aja nggak becus!" Mama menatap nyalang. "Mama nggak pernah ajarin kamu bohong ya, Ju. Mama yang gedein kamu, Mama lebih tahu kamu. Jangan pernah kamu bohongin Mama! Dosa!"

Sentakan Mama kelewat kencang. Jari telunjuknya mengarah langsung di depan wajah Juno. Sedikit membuat Juno gentar. Degup jantung Juno bedetak tak beraturan, seperti baru dipakai lari ratusan meter, menghasilkan butiran-butiran peluh di sekitar kening. Mama selalu berhasil membuatnya merasa bersalah, seakan-akan dia betulan melakukan kesilapan itu—saat sebenarnya dia nggak sengaja, atau bahkan nggak melakukan sama sekali.

Juno terbiasa diam. Dia tahu semakin dia menjawab, akan semakin ke mana-mana celotehan Mama. Lebih mudah mengabaikan ketimbang menggubris seseorang yang hanya ingin melampiaskan amarah.

"Cewek itu yang rayu kamu duluan, 'kan? Dia jebak kamu makanya lahir anak itu! Memang dasar perempuan nggak bener! Kamu kenal dia di mana?! Biar Mama ngomong sama dia!"

Namun, masalah kali ini nggak sesepele sebelum-sebelumnya. Ini melibatkan Dera dan juga Rey. Juno kurang terima jika Mama ikut salah paham pada mereka.

"Pantes Papa ninggalin Mama."

Juno tak kuasa menahan diri. Setengah mati dia berusaha mengunci mulut, tak ingin kelepasan mengatakan apa pun yang menyakiti hati Mama, tapi pada akhirnya kalimat itu keluar juga.

"Egois, nggak pernah mau dengerin orang, selalu ngerasa paling bener sendiri." Sebenci-bencinya Juno ditinggal dan diabaikan oleh Papa, dia nggak bisa menampik jika ada banyak hal dari diri Mama yang juga terasa kelewatan.

"Kamu ngomong apa?" Mama yang tadinya mau menggeser pintu balkon jadi kembali menghadap Juno, memastikan tak salah dengar.

"Mama egois," ulang Juno. "Mama SELALU aja bikin kesimpulan sendiri! Mama nggak pernah mau dengerin penjelasan Juju!"

"Kamu bilang Mama egois?" Napas Mama tersangkut di tenggorokan. Bibirnya terbuka tanpa ada suara yang keluar, seperti mencoba mengekspresikan keterkejutan namun nggak menemukan kata-kata yang tepat. "Mama korbanin seluruh hidup Mama buat kamu dan kamu bilang... Mama egois? Kalau Mama egois, Mama nggak bakal urusin kamu! Nggak bakal Mama peduliin kamu sekolahnya gimana, makannya terjamin atau enggak. Mama biarin kamu luntang-luntung di jalan! Sekarang kalau Mama kecewa karena anak yang Mama gedein hidupnya begajulan begini Mama salah?! Iya?! Mama nggak berhak gitu buat marah?!"

"Emang Mama pikir Juju nggak pernah kecewa sama Mama?" balas Juno, entah keberanian dari mana yang membuatnya tak gentar lagi. "Mama pikir Mama udah jadi orang tua yang sempurna cuma karena Mama ngerasa udah korbanin seluruh hidupnya Mama?"

"Kok bisa kamu ngomong gitu, Ju..." Delikan mata Mama menyurut. Hidungnya kembang kempis. Napasnya terengah-engah, berat, dan nggak teratur. Kedua tangannya terkepal erat. "Ini hasil dari kuliah enam tahun? Udah kelewat pinter ya kamu sampai bisa ngelawan Mama. Jago kamu."

"Juju nggak pernah pengin ngelawan Mama. Dari dulu kalau Mama ngomel atau marahin Juju, emang Juju pernah ngelawan? Mama maki-maki Juju juga pernahkah Juju bales? Juju terima semua kekecewaan Mama, tapi emang sengecewain itu ya Juju, Ma, sampai Mama nggak pernah bisa percaya sama anak Mama sendiri?"

Meskipun berusaha untuk menjaga ketenangan, tetapi gelombang emosi yang melanda nggak terbendung lagi. Juno merasa terisolasi dalam lautan kekecewaan, berjuang untuk menemukan jalan keluar dari labirin perasaan yang bertentangan.

"Mama bilang Mama lebih tahu Juju... Mama tuh tahu apa? Emang Mama tahu selama ini Juju tertekan sama setiap ekspektasi Mama? Mama tahu kalau Juju nggak jadi apa-apa kayak sekarang karena Juju ngerasa setiap hal yang Juju lakuin nggak pernah bikin Mama puas? Juju juga pernah berkorban, Ma, nggak cuma Mama, tapi dari dulu kan Mama nggak mau lihat gimana usaha Juju."

Mata Juno panas. Namun, kali ini sesak dalam dadanya nggak membuat air mata turun membasahi pipi.

"Juju nggak pernah pengin bikin Mama kecewa... tapi kenapa Mama selalu bikin Juju merasa buruk banget jadi manusia?"

Dia hanya ingin membantu Rey. Ini pun masih salah di mata mamanya.

[] 

Peluk juju......

Sampai ketemu di chapter selanjutnya. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca^^

Juno's BabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang