Enam

15.5K 704 2
                                    

"Mau ke mana, Tan?" tanya Rafi yang tengah santai menonton acara TV.

"Aku mau ke kampus. Oh ya, aku lupa..." aku mendekatinya.

"Aku asdos, Raf. Ngajar tiga kali seminggu tiap Senin, Rabu, dan Kamis. Nggak seharian full kok. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal? Makanan udah aku siapkan kok, tapi...seadanya..." kataku sambil menggigit bibir.

"Jangan khawatirkan aku." jawabnya tersenyum. "Kamu udah berapa lama jadi asdos?"

"Sejak lulus kuliah. Dua tahun lebih lah."

"Kenapa kamu nggak kuliah lagi biar bisa jadi dosen?" tanyanya.

Aku terhenyak. Apa dia tak salah bicara? Bukankah laki-laki ini yang telah menghalangi impianku?

Rafi menatapku aneh. "Kenapa, Tan?"

Aku menggeleng. Ragu-ragu untuk bicara. Perlahan aku duduk di sampingnya.

"Taukah kamu, Raf.. kamu menginginkanku menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Kamu memintaku untuk berhenti jadi asdos. Kamu nggak mengijinkanku mengambil S2." kutatap Rafi untuk melihat reaksinya. Benar dugaanku. Dia sangat terkejut.

"Aku melarangmu?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk pelan.

"Bodohnya!" umpat Rafi pada dirinya sendiri. "Sudah, kamu daftar S2 saja, Tan. Mana mungkin aku nggak rela melihat istriku maju? Mungkin saat itu aku sedang emosi, jangan dihiraukan. Aku minta maaf ya."

Aku masih tak percaya mendengar ucapannya. Rafi mengijinkanku S2? Bahkan mendorongku? Entah apakah aku harus berteriak kegirangan. Keajaiban apa yang Tuhan berikan hingga Rafi berubah menjadi sangat baik begini?

"Raf, kamu serius?" tanyaku memastikan.

"Tentu saja."

"Terima kasih, Raf... Terima kasih.." tanpa sadar kudekap tangan Rafi di dadaku.

Rafi tersenyum. "Pergilah mengajar, nanti kamu telat."

Aku mengangguk. Saat hendak bangkit, Rafi mencegahku. Tangannya bergerak membelai rambutku lalu kurasakan hembusan napasnya setelah bibirnya menyentuh keningku. Untuk sesaat aku seakan kaku tak bergerak. Sungguh aku merasa hidup di dunia yang baru. Rafi benar-benar bertolak belakang dengan dirinya yang dulu. Rafi sekarang berubah menjadi sosok yang lembut dan pengertian. Dan untuk sekejap aku tak ingin dia kembali menjadi dirinya yang dulu, kalau saja aku tak ingat dia menganggap kami saling mencintai. Dan terus terang aku merasa bersalah terus berdusta di hadapannya.

"Hati-hati di jalan." suara Rafi membuyarkan pikiranku.

Aku hanya tersenyum, meraih tas dan bergegas berangkat. Dapat kupastikan kalau aku terlambat dari waktu mengajarku.
**

SAAT KAMU BUKAN DIRIMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang