Tujuh

15.1K 700 3
                                    

Siapa yang akan menyangka kalau kini hari-hariku di rumah berubah menyenangkan. Tak ada lagi wajah masam, tatapan amarah, serta teriakan dari sosok lelaki yang hidup bersamaku. Rafi benar-benar berubah 180 derajat. Dia menjadi Rafi yang baru, Rafi yang menyenangkan dan penuh pengertian. Rafi tak pernah lagi rewel soal makanan. Dia tetap menyantap masakanku walau kadang rasanya tak karuan. Bahkan jika aku mengajar atau kuliah, dia yang berbaik hati menawarkan diri untuk memasak. Huh! Jahat sekali dia dulu tak mau menyentuh dapur dan pasti marah-marah duluan kalau masakanku tak enak. Rafi belum aktif bekerja, ayahnya masih melarang untuk ke kantor sampai kondisinya benar-benar pulih.

Kuakui walau aku lebih suka Rafi yang sekarang, namun aku masih berusaha agar dia mengingat dirinya lagi. Aku tak pernah absen menemaninya terapi. Ya walau mungkin aku nanti akan kembali tersiksa dengannya, tapi paling tidak dia akan mengingat orang tuanya secara utuh. Ayahnya takkan lagi kewalahan di kantor karena kehilangan seorang pekerja cerdas dan cekatan seperti Rafi. Dan aku sungguh tak tega melihat ibunya Rafi yang terkadang menangis karena sang putra tercinta tak bisa mengingatnya.

"Aku sedih lihat Mama." katanya menyandarkan kepalanya di bahuku.

Aku membiarkan tingkahnya. Aku sudah mulai terbiasa dengan sikap Rafi yang kadang manja seperti ini. Kalau aku terlalu sering menolaknya, Rafi pasti akan curiga.

"Kamu kan nggak bermaksud bikin Mama sedih. Mama tau kok kalau kamu berusaha mengingatnya."

"Ini sudah dua bulan, Tan. Nggak ada kemajuan apapun. Apa mungkin amnesiaku permanen?" kudengar putus asa di nada bicaranya.

"Dokter nggak pernah bilang begitu, Raf. Yakinlah kamu pasti bisa sembuh. Aku pasti akan bantu kamu mengingat semuanya." aku berusaha menenangkan hatinya.

Kurasakan tangan Rafi perlahan bergerak melingkari pinggangku. Aku sedikit menggeliat berusaha mengelak, namun Rafi mendekapnya semakin erat. Ah, posisi ini benar-benar tak nyaman untukku.

"Raf, mau kubuatkan teh panas?" aku mencari akal agar dia mau melepaskanku.

Rafi menggeleng. Ah, aku gagal!

"Kamu tau, Tan... entah kenapa aku merasa begitu takut kehilanganmu."

Aku hanya tersenyum sedikit. Aku sendiri tak mengerti apa maksudnya.

"Aku mencintaimu..." bisiknya lirih.

Tubuhku seketika menegang mendengar ucapannya. Aku tak tahu harus bilang apa. Kenapa Rafi tiba-tiba mengatakan hal itu?

"Kok kamu jadi tegang? Memangnya aku nggak pernah bilang cinta padamu?" Rafi melepas pinggangku lalu menegakkan tubuhnya.

Aku kebingungan. Rafi menatapku heran.

"Jadi aku tak pernah bilang cinta?" ulangnya.

"Bisa dihitung dengan jari sih." jawabku mencoba menghilangkan keteganganku.

"Suami macam apa aku ini?" Rafi geleng-geleng kepala. Wajahnya berubah.

"Tanpa kamu sering bilang, aku tau kok perasaanmu padaku." hiburku.

Rafi membelai kepalaku. Mempermainkan rambut sebahuku. Aku tak tahu kenapa dia hobi sekali melakukannya.

"Itu tetap nggak benar, Tan. Seharusnya aku lebih memperhatikanmu. Baiklah, mulai sekarang aku akan lebih sering mengucap kata cinta untukmu."

Aku hanya tersenyum paksa. Seharusnya kamu nggak perlu mengucap kata cinta untukku. Itu yang benar, Raf. Tidak ada cinta di antara kita.

"Tidurlah. Sudah malam." kata Rafi. Kurasakan bibirnya lembut mengecup keningku.

Aku pun segera bangkit dari sofa.

"Selamat malam, sayang." ucapnya sebelum aku masuk kamar.

Aku hanya tersenyum sedikit lalu menutup pintu.
Entah kenapa malam ini aku merasa begitu gerah. Aku tak bisa tidur. Pikiranku rasanya tak tenang. Otakku dipenuhi kondisi Rafi. Sampai kapan akan begini? Sampai kapan aku harus berdusta di hadapannya?

SAAT KAMU BUKAN DIRIMUWhere stories live. Discover now