Prolog

18.7K 1.5K 24
                                    

"Dil," panggil gue di tengah-tengah gerakan gue memasukkan baju-baju ke dalam koper raksasa gue yang warnanya sangat eye catchy, shocking pink. Adil yang sejak tadi cuma terduduk dan menatap hampa sambil duduk di atas tempat tidur akhirnya menoleh. Alisnya terangkat, tanda ia menanyakan apa yang gue mau. Gue nyengir kecil, lalu dengan sisa kekuatan yang cuma satu-dua, gue bertanya, "boleh, ya, gue upload foto kita di instagram? Yah, anggap aja kenangan terakhir. Paling tar satu-dua bulan gue hapus."

"Boleh," sahutnya. Suaranya pelan tapi gue tetap menangkapnya dengan jelas. Gue nyengir--kali ini lebih lebar. Semangat gue semakin meletup-letup untuk memasukkan baju-baju gue ke dalam koper. Entah kenapa, gue merasa, semua susunan baju gue ini emang tersusun supaya gue mudah pindah. Baju dan celana gue tinggal ditarik lalu pindah dari lemari menuju koper. Sat-set-sat-set, koper tersleting. Walau ada satu-dua blazer kerja yang gue gantung, tapi ya udah. Cuma dikit. Jadi, enggak butuh tenaga ekstra untuk melepas mereka dari hanger dan memasukkan ke dalam koper. Begitu juga dengan make up. Semuanya selalu gue susun rapi dalam sebuah kotak berbentuk peti yang tinggal gue bawa kemana pun gue mau. Kalau ada yang sedikit nyusahin, ya paling shower tool karena kondisinya kalau enggak basah ya masih lembap. Tapi, toh, gue bisa dengan gampang masukin mereka ke plastik lalu memasukkannya ke handbag.

Gue memandang sekeliling. Enggak ada perabotan yang harus gue bawa. Ini apartemen Adil. Mulai dari ranjang, kulkas, TV, lemari, sofa dan lainnya.. semuanya.. punya Adil. Gue baru sadar kalau selama ini gue cuma seorang yang numpang walau sesekali ngisi kulkas dengan makanan atau minuman. Selain itu, gue emang pure numpang. Enggak bayar sewa atau biaya listrik maupun air. 

Gue baru aja mau mengambil baju kotor gue untuk dimasukkan ke sebuah plastik kecil saat sebuah suara memanggil gue. Gue menoleh. Itu jelas-jelas suara Adil karena kami emang cuma berdua di ruangan ini. Dia berdiri. Wajahnya tampak sayu. Kantong matanya bahkan jelas. "Tinggalin aja," pintanya. Gue menatapnya, bingung. "Gue aja yang laundry. Nanti gue kirim ke tempat lo kalau udah kering."

Gue mengangguk. 

"Udah, nih, Dil. Lo antar gue, kan, ke apartemen gue?"

Adil mengangguk. Dia membawakan koper gue sementara gue membawa make up box gue beserta satu buah plastik yang berisi empat pasang sepatu yang semuanya masih di kotaknya masing-masing--satu buah stiletto, satu kitten heels, satu sports shoes dan satu flat shoes yang masih baru.

Adil memasukkan koper gue beserta sepatu dan make up box ke bagasi mobilnya yang masih terisi oleh-oleh yang gue bawa dari Bali. 

Kami duduk bersisian dalam diam. Cuma lagu-lagu Sheila On 7 yang berkumandang dari radio yang dipasang random oleh Adil. Lagu datang silih berganti. Mulai dari yang klasik macam JAP sampai yang agak-agak baru kayak Hari Bersamanya. Gue menghela napas saat lagu berganti menjadi Saat Aku lanjut Usia. Sumpah, ya. Ini radio kenapa, sih? Kok dari tadi masang Sheila On 7 terus? Bikin kesel.

"Gue ganti, ya," izin gue pada Adil yang sebenarnya sia-sia karena gue langsung mengganti ke channel apa aja yang terdekat dan enggak bikin gue mellow enggak penting gini.  Channel akhirnya berganti ke sebuah radio muda yang isinya ya emang top 40 lagu-lagu barat yang rata-rata bertema seks.

Roda mobil berhenti di parkiran apartemen. Berbeda dengan apartemen Adil yang terkesan luxury, apartemen gue emang cuma apartemen biasa. Tipikal apartemen murah yang ada di daerah ramai Jakarta. Seperti saat dari apartemen Adil, sekarang juga Adil membantu gue membawa barang-barang menuju lantai delapan tempat unit gue berdiam. Bedanya, kali ini bawaan kami lebih berat karena ada banyak oleh-oleh dari Bali yang gue bawa turun. Mulai dari makanan kayak kacang disko, pie susu sampai pia legong dan ada juga barang pakai kayak kaos sampai dompet atau phone case. 

Lucu, seolah-olah semesta emang mendukung gue buat pisah sama Adil sampai apartemen ini pun kosong karena baru ditinggal penyewanya seminggu lalu. Coba aja apartemen ini enggak kosong, gue mungkin masih bakal bertahan di apartemen Adil beberapa hari sampai gue dapat tempat menginap baru. But here I am.

Barang-barang gue letakin asal di ruang tamu. Paling nanti malam baru gue beresin. Apartemen ini, untungnya udah diisi beberapa perabot walau enggak selengkap dan sebagus di tempat Adil. Tapi, gue harus nerima apa adanya. Karena toh, mulai malam ini sampai malam-malam seterusnya, gue bakal menetap di sini. 

"Lo percaya, kan, waktu gue bilang gue sayang lo, Na?" tanya Adil.

Gue tersenyum. "Dil, gue percaya atau enggak, it's my business, okay? Lo gak usah pikirin itu. Sekarang, yang penting, lo hidup dengan tenang, ya. Lanjutin hidup lo. I hope you'll get a wife soon. Jangan lupa undang gue ke nikahan lo, ya, Dil."

Dia maju mendekat. Memeluk tubuh gue. Erat. Gue mau melepas, tapi pada akhirnya, gue menolak otak gue dan mengikuti kata hati gue: memeluk Adil balik. Gue mencium wangi kolonyenya yang bakal gue rindukan banget, wangi kolonye yang samar tapi pekat menguar dari polo shirt yang Adil kenakan.

Dia mendaratkan bibirnya di bibir gue, singkat. Setelah mengucap kata-kata perpisahan yang pendek, dia lenyap di balik pintu yang terbuka. Gue tersenyum. Dengan langkah berat, gue berjalan dan menutup pintu itu. Dan sama seperti drama bego yang gue tonton di TV, gue menangis di balik pintu. Menangis persis tolol. Gue mengusap kasar air mata gue sambil menyumpah dalam hati. Tapi, bukannya tenang, pipi gue malah tergores oleh sebuah benda tajam yang mengkilat. Cincin di jari manis tangan kiri. Cincin yang harusnya jadi tanda kalau gue dan Adil akan terikat selamanya. Gue enggak pernah sesedih ini ngelihat berlian sebelumnya. I mean, this is so great and beautiful. But, this is not enough. 

Harusnya, gue tau kalau dari awal semua bakal berakhir buruk. Harusnya, gue emang ngejauhin Adil dari awal. Harusnya, gue enggak usah.. harusnya.. harusnya..

Fuck it

Dan sama kayak DP BBM yang pernah dipasang Stella dan gue hina habis-habisan, gue bertanya-tanya ke diri gue sendiri, "emang bisa, Lun? Emang bisa dihentiin pas semuanya masih indah?"


[1/3] It's yesterday.Where stories live. Discover now