6

8.3K 1.1K 58
                                    

"Kamu gay?" tanya Anisa waktu itu. Empat bulan yang lalu, saat Adil mampir ke rumah untuk makan malam bersama merayakan ulang tahun ke 21 Zahra, adik Adil satu-satunya. Adil, Zahra bahkan Cintia--kakak tertua Adil-- dan Kafka, suami Cintia langsung tersedak. 

"Ma," tegur Cintia.

Adil terdiam.

"Dil, kamu itu, sepuluh bulan lagi udah 32 tahun. Kalau kamu enggak nikah-nikah juga, wajar, kan Mama kira kamu gay? Gak usah nikah, deh, bawa pacar ke rumah aja kamu enggak pernah, kan?"

"Ma, ini lagi makan."

"Papa kamu sudah meninggal, lho, Dil. Dan kamu anak laki-laki satu-satunya. Liat tuh Cintia, menikah sama Kafka. Kalau dia punya anak, bakal masuk keluarga siapa? Kafka. Bukan adibrata. Juga kalau Zahra nikah. Kalau kamu gay, siapa yang ngelanjutin bisnis keluarga kita?"

"Ma.. ini kita lagi makan.."

"Adik kamu ini harus tau, Cintia. Mama enggak peduli sama LGBT di luar sana. Mama juga enggak peduli kalau anak laki-laki mama ada lebih dari satu. Ini cuma satu, Cin. Siapa lagi yang mau ngelanjutin usaha kita?"

"Aku enggak gay, ma." Adil menyahut akhirnya. "Belum ada yang cocok aja."

"Pokoknya, kalau sampai ultah ke 32 kamu belum bawa calon, Mama yang bakal cariin kamu, Dil."

"Iya, Ma." Adil benar-benar manut. Zahra dan Cintia cuma menatapnya, bingung.

****

Adil benar-benar nyaris gila. Hari ini, dia cuma menonton tv dengan pandangan kosong sambil menghirup wangi Luna yang tersisa di bajunya yang belum tercuci. 

Jadi, ini rasanya rindu setengah mati?

***

Sesuai rencanya, di liburan kali ini, an one fine getaway, Adil akan melamar Luna. Melupakan fakta kalau mereka beda agama atau apapun itu. Melupakan semua kenyataan. Melupakan apapun yang perlu diingat. Yang Adil tau: dia mau Luna. Untuk seluruh hidupnya. Untuk seluruh sisa waktunya. Mendekap, menghirup dan merengkuh Luna. Utuh. Tanpa ujung. What's better than that?

Ini juga solusi terbaik untuk menunjukkan pada Ibunya kalau Adil bukan gay. Adil menatap cincin berlian yang dia beli di Jakarta, seminggu lalu. Tiba-tiba, ada sebuah keraguan besar merayapi hatinya. 

Ia menengok ke arah jam digital. Masih jam sembilan malam. lbunya pasti belum tidur. Tanpa ragu, Adil mendiall nomor Ibunya.

******

"Hae," sapa Luna ramah. Stella muncul dari balik pintu. Sudah mengenakan kaos santai dan celana pendek. Make upnya sudah terhapus sempurna.

Tanpa diminta, Stella memeluk Luna, lama. 

"Kangen, Stel."

"Kangen juga, Lun."

Ditemani sushi yang Luna pesan untuk mereka berdua, cerita Luna mengalir. Jelas, cepat tanpa interupsi. Tidak ada lagi tangisan. Luna benar-benar sudah feelingless. 

"Gue sayang sama Adil, Stel. Sayang banget. Tapi, ya kadang emang gitu. Suatu hubungan enggak bakal cukup kalau dasarnya cuma sayang."

Stella memeluk Luna lagi.

"Ini gue bawain oleh-oleh. Masih ada di apartemen. Lo dateng, ya. Gue balik lagi ke apartemen kita yang lama."

Stella mengangguk. Antusias. 

"Ben mana Stel?" Luna menatap sekeliling dan gagal menemukan suami sahabatnya itu.

"Ke Bandung. Ada kerjaan katanya." Luna mangguk-mangguk sambil memakan sushinya. 

"Lo masih kepikiran?"

"Masihlah. Baru kemaren. Tapi tar juga lama-lama lupa. This is just another broke up, isn't it?"

"Amin. Amin. Amin." 

"Sumpah, ya. Kalau enggak ada lo, gak tau mau curhat sama siapa Stel."

"Makanya, kalau pacaran jangan backstreet. Bingung, kan, lo. Gak ada yang paham kondisi lo."

"Too much people yang tau juga gak guna. Gosip doang bisanya. Nyebar black campaign. Sia-sia," rutuk Luna.

"Well, bagus deh kalau lo udah ngerti."

****

"Ma, ini Adil."

"Mama tau. Mama kan ngesave nomor kamu, Dil," sahut Anisa dari sebrang sana sambil terkikik kecil. Anak laki-lakinya yang satu ini benar-benar canggung. Bahkan pada ibunya sendiri. "Ma, aku sebenarnya punya pacar."

Anisa terdiam.

Adil melanjutkan, "perempuan."

Helaan napas terdengar dari sebrang sana.

"Dan iya, benar. Aku emang tinggal bareng sama dia di apartemen aku. Itu sebabnya aku enggak ngizinin Mama mampir."

Anisa masih diam.

"Ma, hari ini aku mau lamar dia."

Tanpa Adil lihat, Anisa tersenyum di sebrang sana. Senyum yang langsung sirna begitu Adil menambahkan, "dia katholik, Ma."

"Dil.."

"Iya, Ma. Aku tau. Aku tau. Mama pasti minta aku nyari yang lain yang Islam juga, kan, Ma? Tapi masalahnya enggak sesederhana itu, Ma. Aku cinta sama dia. Cinta mati."

"Dia enggak bisa apa jadi mualaf, Dil?" 

Adil bersandar di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan gelap.

"Aku tau dia udah jarang gereja, Ma. Tapi, aku tau banget betapa dia enggak bakal mau pindah agama."

"Dil, kamu tinggal bareng sama dia, kan? Kalian.. kalian.."

"Iya, Ma. Aku tidur sama dia. Mungkin mama sekarang udah jijik sama aku. Anak mama ini, yang mama pikir baik ternyata pezinah. Aku minta maaf, Ma."

"Kamu masih solat?" tanya Anisa.

"Udah jarang, Ma.." berat. Tapi, Adil mengaku. Kali ini saja. Dia ingin jujur pada wanita yang mengizinkannya menghirup oksigen bumi. "Tapi, sama kayak dia yang enggak mau mualaf, aku juga enggak bakal mau murtad, Ma."

"Kamu beneran cinta sama dia, Dil?"

"Banget, Ma."

"Ya mungkin kalian bisa nikah di luar negri. Anaknya temen arisan mama, John, juga nikah sama pacarnya yang Islam itu di Australia."

"Aku juga kepikiran ke sana, Ma."

"Terus? Kenapa kamu keliatan berat gitu, Dil? Kalau emang kamu segitu cintanya, ya udah. Kalian nikah aja di Australia, punya anak-anak lucu buat penerus perusahaan dan semua selesai."

"Itu masalahnya, Ma." Suara Adil terdengar berat.

"Dia punya pernah operasi Kista Ovarium, Ma. Hampir mustahil kami bakal punya anak, Ma."

Hening yang luar biasa lama terdengar di antara Adil dan Anisa. 

"Dil, kalau Mama bilang enggak boleh, kamu bakal tetap nikahi dia? Atau gimana?"

Adil menggeleng, lupa kalau ibunya tidak bisa melihat. "Surga masih di bawah kaki Mama, Ma."

"Dil, Mama sayang kamu. Kamu tau dari dulu mama ingin kamu punya anak bukan karena mama gila harta tapi mama tau usaha papa kamu membesarkan perusahaan ini bagaimana. Mama cuma enggak mau aja perusahaan ini lenyap cuma karena enggak ada penerus. Mama sayang kamu. Cuma, kalau Mama boleh minta, kamu cari calon istri lain aja, Dil. Tapi, apapun keputusan kamu, Mama hargai. Yang paling penting buat Mama itu kebahagiaan kamu."

"Ma.."

"Udah, ya, Dil. Mama capek. Mau tidur dulu. Mama sayang kamu."

Sekali ini saja. Adil mau yang bahagia bukan dia. Tapi Ibunya. Sekali ini saja, Adil mau bukan "yang penting kamu senang, Dil" Tapi "Yang penting mama senang." 

Sekali ini saja.

[1/3] It's yesterday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang