Epilog

9.9K 1.2K 83
                                    

Muhammad Adil Adibrata
&
Camelia Putri 

Dengan tinta emas, di atas sebuah undangan mewah berwarna hitam nama Adil dan seorang perempuan entah siapa tercetak dengan tinta timbul. Luna menatapnya lama. Hanya dia dan Ari yang mendapat undangan di seluruh kantor. Resepsi pernikahan itu memang digelar tertutup dengan jumlah seratus undangan yang mayoritas diisi oleh kerabat kedua mempelai.

"Lo beneran datang ke nikahan Adil, Lun?" tanya Stella melalui telepon.

"Yas," sahut Luna. Yakin. 

"Udah move on emang?"

"Kalau gue bilang gue belom, dia juga enggak bakal nunda pernikahannya atau apa, kan, Stel. Udahlah. Chill. Okay?"

"Iye, iye." Stella bersungut-sungut. "Dia nikah pake adat apa, sih? Gue pake kebaya atau dress nih?"

"Dresslah. Nikahnya nasional. Malem gitu."

"Oke."

****

Luna turun dari taksi perlahan. Disusul Stella kemudian. Keduanya memakai terusan yang sama-sama hitam. Bedanya, milik Luna selutut, menampakkan kakinya yang jenjang sementara milik Stella adalah sebuah maxi dress. Tangan mereka berdua memegang clutchnya masing-masing. Khusus di tangan Luna, ada sebuah undangan hitam yang barcodenya harus dipindai untuk masuk. Satu buah undangan yang valid untuk dua orang.

Resepsi itu diadakan di sebuah aula berukuran tidak terlalu besar--menyesuaikan ukuran undangan yang hanya 100 itu. Tema pestanya adalah hitam dan putih yang dibuktikan dengan decornya yang berwarna senada. Para tamu diminta datang dengan warna terang sementara kedua mempelai memakai pakaian all white. Sebuah foto prawedding berukuran sebesar lukisan diletakkan di dekat pintu masuk. Luna menatap wanita itu, lama. Sebuah hijab menutupi kepalanya. Entah karena foto pra-wed atau memang dia benar-benar hijabers, entahlah, Luna memilih untuk tidak perduli. Begitu masuk, meja dan kursi berwarna hitam-putih bertebaran di seisi ruangan disusul bunga-bunga segar yang membingkai ruangan dengan classy. Meja dengan kursi tersusun rapi mengitari meja panjang sementara makanan prasmanan mengisi sudut-sudut ruangan. Ada sate, somay, nasi goreng dan lainnya. Untuk sebuah pesta sederhana keluarga Adil menyiapkan banyak sekali makanan.

Di jari manis tangan kirinya, cincin berlian yang gagal Adil jadikan cincin lamaran masih terlingkar manis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di jari manis tangan kirinya, cincin berlian yang gagal Adil jadikan cincin lamaran masih terlingkar manis. Jelas diingatan Luna saat Adil berkata, "tadinya aku mau ngelamar kamu, Lun. Tapi, aku nelpon mama aku dan dia jelas-jelas enggak setuju. Dia enggak maksa aku, dia bebasin aku menentukan pilihan. Tapi, semuanya enggak sesederhana itu, Lun. Karena, sekali aja, aku mau, liat Mama aku bahagia. Cincin ini, enggak bakal bisa aku pakai. Aku kasih buat kamu, ya? Pasti cocok banget di jari jenjang kamu. Pakai, ya. Anggap aja kenang-kenangan dari aku." 

Sekarang, 14 bulan sejak weekend getaway mereka ke Bali, Luna menatap Adil, dengan kepalanya sendiri. Laki-laki yang harus dia liat tiap hari wara-wiri di kantornya sementara hatinya mencoba melupakan semua kenangan tentang mereka. Bedanya, dia enggak cuma melihat Adil sebagai bosnya. Sekarang, Luna harus menghadapi kenyataan untuk menyalam bukan hanya Adil tapi juga istrinya. Juga keluarga Adil dan keluarga perempuan beruntung itu.

"Gak salam juga gak papa kali, Lun," ujar Stella saat melihat perubahan ekspresi Luna. Luna hanya tersenyum, lalu masuk ke antrian orang yang mau menyalam.

Sekarang, di saat dia hendak menyalam Adil, laki-laki yang pernah dia cintai habis-habisan, laki-laki yang pernah dia idam-idamkan menghabiskan pagi dan malam, laki-laki yang menyentuh alkohol untuk melepas Luna dari bayangnya, laki-laki yang meminta maaf dan memohon di bawah kaki Luna untuk melanjutkan hubungannya secara sembunyi-sembunyi, laki-laki yang dia tatap tiap presentasi bukan sebagai atasan tapi sebagai seseorang yang ingin dijadikan bagian masa depan. 

Laki-laki yang...

Astaga. Luna lupa.

Tangan Luna meraih ponselnya dari dalam clutch, membuka instagram. Tangannya membuka sebuah foto yang berasal dari 61 minggu lalu. Foto dengan 21 comments dan 89 likes. Delete. Terhapus. Selamanya.

"Selamat berbahagia, Dil," ujar Luna sungguh-sungguh sambil menyalam Adil. Adil menatapnya. Hampa. 

"Makasih udah datang, Lun." Hanya itu. Hanya itu yang terucap. Karena memang begitu seharusnya. Tapi mereka bertatapan cukup lama sampai membuat jalur salaman sedikit macet. Untungnya, dengan cepat Stella menarik tangan Luna dan memaksa Luna menyalam mempelai Adil. Mereka bertukar senyum dengan wajar. Mungkin wanita itu tidak tahu siapa Luna. Baguslah. Memang seharusnya begitu.

Luna tersenyum saat melihat Anisa. Aura kecanggungan tersirat jelas. Luna menyalam wanita paruh baya di depannya. Yang hanya satu kali ia jumpai untuk sebuah ucapan terimakasih yang terhitung menyakitkan. Wanita itu membalas senyuman dan jabat tangan Luna.

Selesai.

Satu bab buku kehidupan Luna sudah selesai. 

Satu bab buku kehidupan yang akan Luna simpan di sebuah laci terdalam hatinya dan tidak akan dia buka sampai kapanpun. Satu bab kehidupan yang meski buruk, tapi tetap akan Luna pertahankan.

Satu bab yang tidak akan Luna lupa.

And when your fantasies
Become your legacy
Promise me a place
In your house of memories  

[1/3] It's yesterday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang